REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Penghapusan bagian-bagian yang merujuk kepada Kekaisaran Mughal dari buku-buku sekolah di India baru-baru ini telah memicu kemarahan di kalangan akademisi. Para sejarawan dan akademisi khawatir langkah penghapusan ini bertujuan untuk menghilangkan ingatan generasi muda dari peran penting umat Islam dalam sejarah India.
Buku-buku pelajaran baru tentang sejarah dan politik, terutama untuk kelas 12, atau siswa berusia 17-18 tahun, dirilis pada awal April lalu. Buku sejarah baru itu menyusul keputusan tahun lalu oleh Dewan Nasional Penelitian dan Pelatihan Pendidikan untuk mengurangi beban kerja bagi para siswa di lebih dari 20.000 sekolah negeri dan swasta yang diawasinya di seluruh negeri.
Perubahan ini dilakukan dengan menghapus materi tentang dinasti Mughal, yang memerintah anak benua ini antara abad ke-16 dan ke-19, yang menandai kebangkitan budaya Islam secara global. Mereka juga melewatkan kerusuhan tahun 2002 di Gujarat yang menewaskan ratusan Muslim ketika Perdana Menteri Narendra Modi memimpin negara bagian ini dan menghapus hubungan antara ekstremisme Hindu dan pembunuhan pemimpin kemerdekaan India yang paling dihormati, Mahatma Gandhi.
Kongres Sejarah India, asosiasi sejarawan terbesar di Asia Selatan, yang memiliki lebih dari 35.000 anggota, mengecam revisi tersebut pada awal minggu ini, dengan mengatakan bahwa mereka telah memperkenalkan "persepsi yang jelas-jelas berprasangka dan tidak rasional" tentang masa lalu India.
"Ini merupakan upaya untuk menyesuaikan sejarah sesuai keinginan dari agenda mayoritas Hindu," kata Prof. Syed Ali Nadeem Rezavi, sekretaris dari kongres tersebut, kepada Arab News, Kamis (13/4/2023).
Farhat Hasan, profesor sejarah Asia Selatan abad pertengahan dan modern awal di Universitas Delhi, melihat perubahan buku teks ini sebagai upaya "untuk melenyapkan ingatan budaya Mughal."
Sebuah kampanye untuk mengubah nama-nama jalan dan kota-kota yang berasal dari Mughal telah berlangsung sejak Partai Bharatiya Janata yang beraliran nasionalis Hindu pimpinan Modi berkuasa pada tahun 2014.
"Upaya ini adalah untuk menulis ulang sejarah India," kata Hasan, menambahkan bahwa hal ini akan merusak karakter sinkretisnya, di mana umat Hindu, Muslim dan anggota dari agama-agama lain telah memainkan peran penting.
"Warisan Mughal sangat besar dan telah membentuk budaya kami dengan lebih banyak cara daripada yang kita kenali saat ini. Musik, tarian, arsitektur, cita rasa kuliner dan literatur kami telah dibentuk secara krusial oleh Mughal. Mereka membentuk budaya politik Asia Selatan selama lebih dari empat abad," kata Hasan.
Aditya Mukherjee, profesor sejarah kontemporer India di Universitas Jawaharlal Nehru di Delhi, mengatakan bahwa perubahan buku pelajaran tersebut merupakan "tren yang berbahaya" dan merupakan "upaya untuk menghapus nama-nama Muslim, menghapus pencapaian mereka, menjelek-jelekkan dan mengotak-kotakkan mereka."
Dengan lebih dari 200 juta orang India yang memeluk agama Islam, India yang mayoritas beragama Hindu memiliki populasi minoritas Muslim terbesar di dunia. Ketika pencapaian Muslim dirusak, halaman-halaman gelap sejarah India yang berkaitan dengan mayoritas Hindu ditutup-tutupi.
"Mereka menyembunyikan peran kaum fanatik Hindu dan komunalis. Mereka menyembunyikan hubungan antara RSS (kelompok paramiliter sayap kanan) dan organisasi fanatik Hindu lainnya dengan pembunuh Mahatma Gandhi," kata Mukherjee. "Hal ini sangat berbahaya bagi negara multi-agama seperti negara kita."
Archana Ojha, profesor sejarah di Universitas Jawaharlal Nehru, memperingatkan bahwa cara di mana buku-buku pelajaran telah diringkas adalah tidak ilmiah dan bahaya yang telah dilakukan dalam proses tersebut akan mempengaruhi generasi muda.
"Sejarah adalah narasi dan evaluasi kritis terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang telah dikumpulkan. Revisi dalam sejarah muncul ketika sumber-sumber baru dianalisis, dievaluasi, dan dikuatkan oleh para sarjana," katanya.
"Penghapusan dalam sejarah hanya akan meninggalkan kesenjangan yang mencolok yang akan sulit dipahami oleh para siswa. Kita perlu angkat bicara, berunding dengan mereka yang berkuasa, membuat suara-suara waras didengar di depan umum dan mendidik masyarakat sebelum lebih banyak kerugian yang terjadi."