REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Program Pangan Dunia (WFP) pada Ahad (16/4/2023) menghentikan sementara semua operasinya di Sudan setelah tiga pegawainya tewas dalam bentrokan antara angkatan bersenjata Sudan dan kelompok paramiliter Pasukan Pendukung Cepat (RSF). Direktur Eksekutif WFP, Cindy McCain, mengatakan, WFP berkomitmen untuk membantu orang-orang Sudan menghadapi kerawanan pangan namun mereka tidak dapat bekerja di bawah situasi keamanan yang mengerikan.
"Sementara kami meninjau situasi keamanan yang berkembang, kami terpaksa menghentikan sementara semua operasi di Sudan. WFP berkomitmen membantu orang-orang Sudan yang menghadapi kerawanan pangan, tetapi kami tidak dapat melakukan pekerjaan penyelamatan nyawa jika keselamatan dan keamanan tim serta mitra kami tidak dijamin," ujar McCain.
Tiga karyawan WFP tewas dan dua lainnya luka-luka dalam bentrokan di Kabkabiya di Darfur Utara. Seorang juru bicara WFP mengatakan kepada Reuters, ketiga orang yang tewas itu semuanya orang Sudan.
McCain juga mengatakan sulit bagi staf WFP untuk beroperasi setelah pesawat U.N. Humanitarian Air Service (UNHAS) rusak parah di bandara Khartoum Sudan selama baku tembak pada Sabtu (15/4/2023). Insiden itu berdampak serius pada kemampuan organisasi untuk memindahkan pekerja kemanusiaan dan bantuan di Sudan. PBB mengutuk pembunuhan terhadap karyawan WFP. PBB mengatakan, mereka meninggal saat menjalankan tugas
Kepala Misi Bantuan Transisi Terpadu Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNITAMS), Volker Perthes mengaku terkejut dengan laporan proyektil yang menghantam PBB dan tempat-tempat kemanusiaan lainnya. Ada laporan mengenai penjarahan gedung PBB dan kantor kemanusiaan lainnya di beberapa lokasi di Darfur.
Perebutan kekuasaan antara tentara Sudan dan RSF sejauh ini telah menewaskan 56 warga sipil dan melukai 595 orang, termasuk para pejuang.
Pertempuran pecah pada Sabtu antara unit tentara yang setia kepada Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF), yang dipimpin oleh Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, yang dikenal sebagai Hemedti. Itu adalah serangan pertama sejak keduanya bergabung untuk menggulingkan presiden Omar Hassan al-Bashir pada 2019.