REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Warga Sudan menggantungkan harapan mereka kepada proses mediasi di antara utusan faksi yang bertikai di Arab Saudi. Warga Sudan berharap mediasi tersebut dapat mengakhiri pertumpahan darah, yang telah menewaskan ratusan orang dan memicu eksodus massal.
Sejauh ini belum ada informasi tentang kemajuan pembicaraan yang dimulai pada Sabtu (6/5/2023) antara tentara dan paramiliter Sudan, Pasukan Dukungan Cepat (RSF) di Kota Jeddah, Saudi.
Para utusan faksi mengatakan, mereka akan berupaya untuk menangani gencatan senjata dan masalah kemanusiaan seperti perjalanan yang aman. Sejauh ini banyak gencatan senjata telah dilanggar sejak konflik meletus pada 15 April.
Kepala Angkatan Darat Abdel-Fattah al-Burhan, pada Senin (8/5/2023) mengatakan, tentara sedang mencari solusi damai. Tetapi diskusi tentang penyelesaian konflik jangka panjang dapat dilakukan setelah kedua pihak mencapai gencatan senjata permanen di Khartoum.
"Kami percaya solusi damai adalah jalan yang ideal untuk menangani krisis ini," kata al-Burhan.
Namun, suara serangan udara dan bentrokan bergema lagi di seluruh Ibu Kota Khartoum pada Senin. Sejauh ini tidak ada pihak yang secara terbuka mengisyaratkan terbuka untuk konsesi.
"Jika negosiasi Jeddah gagal menghentikan perang, ini berarti kami tidak akan dapat kembali ke rumah dan hidup kami," kata Tamader Ibrahim, seorang pegawai pemerintah berusia 35 tahun di seberang sungai Nil Biru dari Khartoum.
"Kami menunggu negosiasi ini karena itulah satu-satunya harapan kami," kata Ibrahim.
Mahjoub Salah, seorang dokter berusia 28 tahun, mengatakan wilayah ibu kota yang dilanda kekerasan berubah dari hari ke hari. Salah menyaksikan pertempuran sengit dan seorang tetangga tertembak di perutnya di distrik Al Amarat di pusat Khartoum bulan lalu. Dia akhirnya menyewa sebuah flat untuk keluarganya di selatan ibu kota.
"Kami masih menunggu paspor kami dikeluarkan, tetapi kami tidak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan. Maka rencana kami adalah melakukan perjalanan dari Port Sudan ke Arab Saudi," ujar Salah.
Kementerian Luar Negeri Saudi mengatakan, pembicaraan pra-negosiasi diharapkan mencapai hasil gencatan senjata jangka pendek yang efektif untuk memfasilitasi bantuan kemanusiaan. Sementara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) mengatakan, pihaknya yakin kedua pihak juga telah membahas perlindungan warga sipil.
Namun, pembicaraan tentang penyelesaian konflik secara permanen tampaknya masih jauh. "Saat ini kami tidak sedang bernegosiasi dengan (kepala RSF) Jenderal Hemedti," kata Dafallah Alhaj, utusan panglima militer Burhan, di Sudan Selatan, Senin.
Namun, para analis telah menyarankan kehati-hatian atas hasilnya. Para analis mencatat kehadiran garis keras dalam delegasi dan perolehan teritorial RSF baru-baru ini, yang dapat menghalangi milisi dari konsesi.
“Pemangku kepentingan utama domestik dan internasional tidak ada seperti Mesir dan UEA, yang sejauh ini merupakan satu-satunya yang telah membuktikan bahwa mereka dapat menjamin gencatan senjata,” kata Direktur Confluence Advisory, sebuah lembaga think-tank Sudan, Kholood Khair.
"Bahwa tidak ada warga sipil yang hadir menciptakan kembali kegagalan negosiasi politik sebelumnya," kata Khair.
Khair menambahkan, negara-negara Afrika yang mendukung pemerintahan sipil di Sudan juga tidak hadir. Kepala bantuan PBB Martin Griffiths berada di Jeddah untuk pembicaraan terkait masalah kemanusiaan di Sudan, tetapi tidak terlibat langsung dengan pihak yang bertikai.
RSF merilis video yang menunjukkan bahwa tentara Sudan menyerah. Sebuah sumber militer mengatakan, orang-orang yang ditampilkan dalam video itu berasal dari unit yang memainkan musik seremonial di istana kepresidenan Khartoum. Pasukan RSF menahan mereka pada awal pertempuran bulan lalu.
Ribuan orang berusaha untuk melarikan diri dari Port Sudan dengan perahu ke Arab Saudi. Mereka juga rela membayar penerbangan komersial yang mahal melalui satu-satunya bandara yang berfungsi di Sudan, atau menggunakan penerbangan evakuasi.
Sementara itu, anggota suku Beja, yang telah memobilisasi untuk mendukung tentara di masa lalu dengan menutup Pelabuhan Sudan, melakukan demonstrasi untuk berjanji setia kepada militer.
Konflik bukanlah hal baru bagi Sudan. Namun, sebagian besar konflik terjadi di daerah terpencil. Kali ini pertempuran sengit terjadi di Khartoum, salah satu kota terbesar di Afrika. Konflik ini meningkatkan kekhawatiran bagi warga Sudan.
Sejak pertempuran meletus, badan pengungsi PBB telah mencatat lebih dari 30.000 orang yang menyeberang ke Sudan Selatan. Lebih dari 90 persen di antaranya adalah orang Sudan Selatan.
Namun, jumlah sebenarnya kemungkinan jauh lebih tinggi. Badan-badan bantuan khawatir gelombang itu akan memperburuk krisis kemanusiaan yang sudah mengerikan di Sudan Selatan. Sudan Selatan merdeka dari Khartoum pada 2011 setelah puluhan tahun perang saudara.