REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Kepolisian Inggris mengungkapkan penyesalan atas penangkapan pengunjuk rasa anti-monarki selama penobatan Raja Charles III. Mereka mengatakan para pengunjuk rasa tidak akan didakwa.
Penyesalan ini disampaikan setelah kepolisian dikritik bersikap terlalu keras dalam merespons unjuk rasa damai. Kepolisian Metropolitan London mengatakan enam orang ditangkap dengan Undang-undang Ketertiban Umum.
Undang-undang yang membatasi unjuk rasa itu diloloskan beberapa hari sebelum penobatan Raja Charles. Upacara kerajaan terbesar dalam 70 tahun terakhir.
Saat massa berkumpul, polisi menangkap kelompok gerakan anti-monarki, Republic dan enam anggotanya. Menurut polisi mereka berencana mengganggu jalannya penobatan raja.
Penangkapan membayang-bayangi liputan positif untuk keluarga kerajaan. Polisi mengatakan para pengunjuk unjuk rasa ditangkap karena memiliki memiliki alat-alat yang dapat digunakan mengunci posisi di rute penobatan. Republic mengatakan benda-benda itu mengamankan poster protes.
Polisi mengatakan, tim investigasi memeriksa benda-benda itu dan tidak ada tindakan lanjutan yang diambil. Pada Rabu (10/5/2023) polisi mengungkapkan "penyesalan" pengunjuk rasa dicegah melakukan protes.
Ketua Republic dan salah satu dari enam pengunjuk rasa yang ditahan, Graham Smith, mengatakan, ia sudah memberitahu polisi jenis benda yang akan dibawa dan di mana akan diletakan.
"Saya yakin keputusan untuk menangkap kami sudah diambil sebelumnya bahkan sebelum kami tiba, bila mereka mencoba mengurangi publisitas kami ini merupakan boomerang masif, apa yang terjadi tersebar ke seluruh dunia," kata Smith.
Smith mengatakan polisi sudah meminta maaf secara pribadi pada Senin (8/5/2023) lalu. Tapi ia berencana berbicara dengan pengacaranya mengenai tindakan hukum yang dapat diambil.
Menteri pemerintah mengatakan, polisi akan menghadapi situasi sulit dalam upaya mencegah gangguan berbahaya. Kelompok-kelompok swadaya masyarakat mengkritik penangkapan tersebut.
"Ini sesuatu yang anda perkirakan terjadi di Moskow bukan London," kata direktur Human Rights Watch Inggris Yasmine Ahmed.