REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Pengungsi Rohingnya menolak keras infrastruktur permukiman konstruksi ringan yang dibangun junta Myanmar untuk pengungsi yang dipulangkan kembali dari Bangladesh. Mereka menyebutnya hanya sebagai relokasi dari satu kamp pengungsi ke kamp pengungsi lainnya.
Warga Rohingya juga menuntut hak-hak dasarnya dipenuhi sebelum repatriasi mereka ke Negara Bagian Rakhine di Myanmar. "Kami memang pengungsi di Bangladesh, tapi kami tak bisa menjadi pengungsi di negara kami sendiri di mana kami punya aset, properti tanah, dan leluhur," kata seorang pengungsi Rohingya bernama Mohammad Ali kepada Anadolu, Sabtu (13/5/2023).
Ali yang saat ini tinggal di tempat penampungan pengungsi di Pulau Bhasan Char di Teluk Benggala, menambahkan bahwa sampai tiga tuntutan dasar dipenuhi, tak ada anggota komunitasnya yang boleh pulang.
"Hak kewarganegaraan kami harus dipulihkan, aset-aset kami, termasuk tanah yang direbut junta militer Burma (Myanmar), harus dikembalikan kepada kami, dan hak kami untuk bebas bepergian ke bagian mana pun di Myanmar harus dijamin," kata ayah empat anak itu.
Dia meminta pemerintah Bangladesh tidak memaksa pengungsi Rohingya kembali ke Myanmar tanpa terlebih dahulu memastikan hak asasi mereka dihormati. Mohammad Amir yang merupakan pelajar Rohingya yang tinggal di kamp pengungsi Balukhali di Cox's Bazar, berkata kepada Anadolu bahwa dia menghindarkan genosida pada 2017 di Rakhine saat di bangku kelas 10.
"Saya kecewa sekali karena saya tidak dapat melanjutkan studi saya di Bangladesh," kata dia.
"Saya ingin kembali ke tanah air saya sebagai warga negara, bukan sebagai pengungsi, dengan jaminan karir akademis saya," tambahnya.
Dia mengatakan, tak ada warga Rohingya yang tak ingin masuk perangkap junta militer Myanmar yang licik, dalam kedok repatriasi. Menurut Ketua Dewan Rohingya Eropa (ERC) Ambia Perveen, pemerintah Myanmar tidak tertarik merepatriasi pengungsi dan hanya ingin menghindari tekanan internasional.
"Pemerintah Myanmar tidak pernah tertarik untuk memulangkan Rohingya. Mereka hanya ingin mengelabui dunia," kata Perveen, merujuk upaya repatriasi yang sebelum ini tidak pernah berhasil.
Dia mengatakan, jika junta Myanmar ingin memulangkan Rohingya dari Bangladesh, hal pertama yang harus mereka lakukan adalah menunjukkan ketulusan dalam membolehkan orang bergerak bebas dan pemulangan 130.000 Muslim Rohingya di dalam negeri Myanmar yang tinggal di kamp-kamp di Sittwe, ibu kota Rakhine, sejak 2012. Pakar urusan pengungsi dan mantan profesor hubungan internasional Universitas Dhaka, CR Abrar, menyebut repatriasi tidak bisa disebut berkelanjutan sampai sidang genosida Rohingya selesai digelar Mahkamah Internasional (ICJ).
"Persoalan ini harus dirampungkan dengan terlebih dahulu mengungkapkan secara resmi sumber genosida Rohingya kepada dunia. Jika tidak, risiko genosida akan selalu ada," kata Abrar.
Dia mengatakan, junta Myanmar dan para pelaku genosida masih belum menunjukkan penyesalan. Ia menuduh militer Myanmar secara terencana membersihkan semua dokumen genosida di Rakhine.
Abrar mendesak Bangladesh agar mengambil upaya diplomatik yang kuat dan konsisten agar Myanmar mendapatkan tekanan internasional yang efektif agar mau memulangkan Rohingya dengan memenuhi hak dan martabat mereka.