Senin 15 May 2023 20:59 WIB

Kemenlu: KTT ASEAN 2023 Deklarasikan Siap Perangi Persoalan TPPO

KTT ASEAN 2023 menghasilkan 12 dokumen penting, termasuk isu pekerja migran.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan para pemimpin negara ASEAN tampak mengenakan baju tenun songke Manggarai saat menghadiri hari kedua puncak Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-42 ASEAN di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) Kamis (11/5/2023).
Foto: AP
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan para pemimpin negara ASEAN tampak mengenakan baju tenun songke Manggarai saat menghadiri hari kedua puncak Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-42 ASEAN di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) Kamis (11/5/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) menyatakan delegasi negara yang mengikuti KTT ASEAN ke-42 Tahun 2023 kompak mendeklarasikan siap memerangi persoalan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di kawasan tersebut.

"Sudah banyak komitmen yang telah dibuat dalam KTT ASEAN sebelumnya. Namun, kini saatnya untuk mengimplementasikannya secara nyata dan konkret. Terlebih lagi, isu perlindungan pekerja migran bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan," kata Direktur Politik dan Keamanan ASEAN Kementerian Luar Negeri Rolliansyah Soemirat dalam FMB9 Deklarasi ASEAN Melindungi Pekerja Migran yang diikuti secara daring di Jakarta, Senin (15/5/2023).

Baca Juga

Rolliansyah menuturkan dalam KTT ke-42 ASEAN 2023 di Labuan Bajo yang digelar pada Kamis (11/5/2023) lalu, sebagai bentuk upaya melindungi hak-hak pekerja migran dan anggota keluarga mereka di tengah situasi krisis, para pemimpin negara telah membuat deklarasi ASEAN yang menghasilkan 12 dokumen penting. Ada tiga dokumen yang berkaitan dengan isu perlindungan pekerja migran.

Tiga dokumen tersebut adalah deklarasi ASEAN tentang pemberantasan perdagangan orang yang disebabkan oleh penyalahgunaan teknologi, deklarasi ASEAN tentang perlindungan pekerja migran dan anggota keluarga dalam situasi krisis, serta deklarasi ASEAN tentang penempatan dan perlindungan nelayan migran.

"ASEAN menyatakan bakal memperkuat kerja sama dan koordinasi terkait kasus perdagangan orang. Pernyataan tersebut juga menyebutkan negara anggota melakukan latihan bersama dan bertukar informasi sebagai bagian dari upaya pencegahan perdagangan orang," katanya.

Deklarasi itu juga menyatakan ASEAN bakal memperkuat kerja sama di bidang pengelolaan perbatasan, pencegahan, penyidikan, penegakan hukum dan penindakan, perlindungan, pemulangan, serta dukungan seperti rehabilitasi dan reintegrasi korban.

Kemudian, menyatakan ASEAN memberikan tanggapan dan bantuan sesegera mungkin kepada korban perdagangan orang. Akan tetapi, perlu dicatat bahwa deklarasi hanya merupakan awal dari suatu proses yang membutuhkan implementasi nyata. Komitmen yang telah diambil harus diwujudkan dalam tindakan konkrit dan melekat pada struktur dan regulasi yang ada.

Namun, tantangan yang dihadapi dalam melindungi pekerja migran semakin kompleks, terutama terkait dengan penyalahgunaan teknologi yang semakin canggih. Sehingga, penting untuk mendorong negara-negara lain agar menunjukkan keberanian politik dalam mewujudkan deklarasi tersebut.

"Dalam hal ini, penting bagi negara-negara anggota ASEAN untuk menunjukkan political will yang kuat dalam mewujudkan deklarasi tersebut. Diperlukan kerja sama yang erat dan kesepakatan bersama dalam menangani isu-isu terkait perlindungan pekerja migran," ujarnya.

Direktur Eksekutif ASEAN Study Center Universitas Gadjah Mada (UGM) Dafri Agussalim menambahkan, TPPO adalah industri yang terus berkembang dan selalu beradaptasi dengan pasar serta menciptakan bentuk-bentuk kejahatan baru.

Dalam banyak kasus, aktor di balik TPPO tidak hanya melibatkan pelaku utama, tetapi juga melibatkan elemen-elemen internal di dalam negara itu sendiri. Oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk mengingatkan negara-negara ASEAN akan adanya masalah TPPO dan pentingnya kerja sama aktif dalam menangani isu yang dapat memicu ketegangan antara negara-negara dan mengganggu hubungan bilateral.

"Ini adalah bisnis ilegal yang melintasi batas budaya, sosial, bahasa, dan geografis, tanpa mengenal waktu, batas, atau aturan. Pelaku dapat berasal dari berbagai bidang, seperti bisnis, akuntansi, hukum, perbankan, atau agen perjalanan," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement