REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Rusia berharap dapat melanjutkan dan memperluas kerja sama dengan Turki, terlepas dari siapa kandidat yang akan memenangkan pemilihan presiden. Pemilu Turki kali ini menjadi tantangan berat bagi Erdogan yang telah pemimpin negara tersebut selama 20 tahun.
“Tentu saja, kami menonton berita yang datang dari Turki akhir-akhir ini dengan penuh perhatian. Kami menghormati pilihan rakyat Turki. Tetapi bagaimanapun juga, kami berharap kerja sama kami akan berlanjut, semakin dalam, dan berkembang," ujar juru bicara Kremlin Dmitry Peskov, dilaporkan Al Arabiya, Senin (15/5/2023).
Peskov menyoroti semua aspek kerja sama yang saling menguntungkan antara Moskow dan Ankara seperti di bidang energi, pariwisata, perdagangan, pertanian, dan transportasi.
“Turki adalah negara demokrasi maju, negara berdaulat yang kuat, dan tentu saja mampu mengadakan pemilihan yang transparan dan demokratis serta mencegah tindakan ilegal apa pun. Kami tidak ragu tentang itu," ujar Peskov.
Erdogan adalah sekutu Presiden Rusia Vladimir Putin. Keduanya telah berupaya membangun hubungan yang lebih dekat selama bertahun-tahun melalui kerja sama energi, kemitraan militer, dan keselarasan regional. Di sisi lain, Rusia mendapat manfaat dari akses ke pasar Turki dan pengaruh geopolitik yang meningkat.
Sementara itu, Amerika Serikat (AS) dan NATO telah mengungkapkan kekhawatiran atas pendalaman hubungan Turki-Rusia. Termasuk mengungkapkan keprihatinan atas komitmen Ankara terhadap aliansi NATO, nilai-nilainya, dan keamanan kolektifnya. Sekutu Barat Turki mempertanyakan apakah Ankara, yang memiliki ikatan yang begitu dalam dengan Moskow, dapat memprioritaskan kepentingan Barat di atas ambisi regionalnya sendiri.
Pengadaan sistem pertahanan rudal sistem S-400 telah memicu ketegangan hubungan antara Turki dengan sekutu NATO, karena tidak sesuai dengan infrastruktur pertahanan aliansi dan menimbulkan potensi risiko keamanan. Amerika Serikat juga telah menjatuhkan sanksi terhadap Turki sebagai tanggapan atas kesepakatan S-400, yang semakin mempertegang hubungan bilateral kedua negara.
Barat juga telah menyatakan keprihatinan serupa tentang pemerintahan otoriter, gaya kepemimpinan, dan pendekatan terhadap pemerintahan Erdogan dan Putin. Para diplomat dan pakar politik kerap menyebut Erdogan dan Putin sebagai "dua kacang polong."
Erdogan dan Putin telah menunjukkan kecenderungan ke arah sentralisasi kekuasaan, konsolidasi otoritas, dan pengikisan nilai-nilai demokrasi. Konsentrasi kekuasaan Erdogan di Turki yaitu melalui reformasi konstitusional dan tindakan keras terhadap suara-suara oposisi.
Gaya kepemimpinan Erdogan kerap dibandingkan dengan pemerintahan Putin di Rusia. Paralel ini menimbulkan kekhawatiran tentang erosi checks and balances demokrasi, serta dampak potensial terhadap hak asasi manusia, kebebasan pers, dan supremasi hukum.