REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selama berhari-hari, berbagai berita di Amerika Serikat (AS) dan Eropa menjajakan narasi tentang kemenangan pasti bagi kubu oposisi. Hasilnya, pemimpin oposisi CHP Kemal Kilicdaroglu meraih hasil berantakan saat penghitungan pencoblosan pada Ahad (16/5/2023) malam waktu setempat.
Dengan memberikan pilihan kepada Aliansi Rakyat yang meraih kursi mayoritas di Parlemen Turki, rakyat Turki menegaskan, "Kepercayaan dan keyakinan pada kami dan aliansi kami," kata Erdogan dilaporkan TRT World dikutip Rabu (17/5/2023).
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pada hari pemilihan sekali lagi menunjukkan kepada para penentang bahwa bukanlah ide yang baik untuk melompat-lompat, terutama ketika menyangkut hak demokrasi rakyat untuk memilih seorang pemimpin.
Baca: Terkena Skandal Video Porno, Capres Turki dari Oposisi Mundur
Pemilihan nasional di Turki telah menempatkan Erdogan unggul melawan Kemal Kilicdaroglu, yang berasal dari kubu oposisi dengan enam partai. Namun, Pemilihan Presiden (Pilpres) Turki bakal berlangsung dua putaran. Hal itu setelah dari penghitungan resmi, Erdogan mengumpulkan suara 49,51 persen, atau kurang sedikit dari ambang batas 50 persen yang menang satu putaran.
Di parlemen, AKP yang didirikan Erdogan bersama sekutunya, yaitu MHP dan Yeniden Refah memenangkan mayoritas kursi. Erdogan dan Partai AK telah memenangkan lebih dari selusin pemilihan sejak mereka pertama kali memimpin di Ankara pada 2002.
Berbagai pemberitaan di luar negeri sudah menyimpulkan jika pemerintahan Erdogan benar-benar berakhir pada akhir pekan kemarin. Kesan bahwa pemberitaan memastikan kemenangan bagi oposisi tidak dapat dihindarkan.
Baca: Erdogan Tutup Kampanye Sholat di Hagia Sophia, Kilicdaroglu ke Anıtkabir
"Banyak outlet berita Barat dengan sengaja ingin menggambarkan oposisi sebagai pemenang masa depan karena mereka terobsesi dengan Presiden Turkiye yang karismatik, sukses, dan sangat disayangi," kata Klaus Jurgens, seorang analis politik yang berbasis di Istanbul.
"Ini semua adalah kualitas yang tidak dimiliki pemimpin mereka sendiri-lagi," katanya menyindir media Barat kepada TRT World.
Penghitungan suara presiden dan parlemen telah selesai, dan Dewan Pemilihan Tertinggi (YSK) Turki telah mengumumkan putaran kedua berlangsung pada 28 Mei 2023. Presiden pejawat (incumbent) Recep Tayyip Erdogan bakal melawan Kemal Kilicdaroglu, pemimpin oposisi CHP, partai yang didirikan Mustafa Kemal Ataturk.
Bagaimanapun, jumlah partisipasi pemilihan yang tinggi sebesar 89 persen telah menegaskan kembali status Turki sebagai negara demokrasi elektoral yang kuat. Pemilihan berlangsung lancar tanpa ada kekerasan yang dilaporkan di mana pun di negara yang terletak di tengah Eropa dan Asia tersebut.
Baca: Jungkir Balikkan Lembaga Survei, Erdogan Sementara Unggul 49 Persen di Pemilu Turki
Mengapa media Barat salah paham?
Selama kampanye pemilihan, Erdogan dan para pemimpin AKP menyoroti pencapaian pemerintah mereka, mulai dari membangun infrastruktur publik kelas dunia hingga meluncurkan senjata pertahanan mutakhir, yang membantu orang Turki bangga dengan negaranya.
Kamp-kamp pemilihan AKP dihiasi dengan poster-poster yang menggambarkan proyek-proyek yang diresmikan di bawah pengawasan Erdogan: kapal pembawa drone TCG Anadolu, mobil listrik Turki Togg, dan gedung pencakar langit.
"Turki telah menjadi pemain regional yang kuat, dihormati, dan bahkan aktor global, tidak ada lagi anak yang dipuji selama melakukan apa yang dikatakan Barat. Media Barat sengaja membuat kesalahan," kata Jurgens.
Erdogan, seorang Muslim yang taat, secara khas mengakhiri kampanye pemilihannya di Masjid Agung Ayasofya, dengan pembacaan ayat-ayat Alquran.
Baca: Diprediksi Kalah di Semua Lembaga Survei, Erdogan Malah Unggul
Ayasofya alias Hagia Sophia dikembalikan menjadi masjid pada 2020, atau 80 tahun setelah diubah menjadi museum oleh Ataturk. Padahal, sejak 1453, Hagia Sophia merupakan masjid sejak dibebaskan oleh Sultan Mehmed II atau Sultan Muhammad Al-Fatih. Keputusan mengubah museum menjadi masjid berdasarkan putusan Mahkamah Agung Turki, tapi dikritik banyak pihak di Barat.
"Erdogan belum tentu tunduk pada Barat," kata Yasser Louati, seorang analis politik Prancis.
"Barat menyukai rezim boneka. Mereka menyukainya ketika para pemimpin asing tunduk pada kepentingan mereka dan meniru nilai-nilai mereka," kata Louati.
Misalnya, dia mencontohkan, Prancis tidak senang ketika Pemerintah Turki mencabut larangan perempuan mengenakan jilbab di sekolah dan universitas pada tahun 2000-an. Hal itu hasil kebijakan Erdogan semasa memimpin.
Di bawah Erdogan, Ankara tidak segan-segan meregangkan otot diplomatik dan militernya di wilayah tersebut. Dari Suriah, Libya, hingga Mediterania timur, Turki telah muncul sebagai pemain utama, dan berani berhadapan dengan negara Barat. Hal itu tentu tidak disukai Barat.
Baca: Erdogan Unggul di Pilpres Turki, Partai Koalisinya Menang Telak di Parlemen