Ahad 21 May 2023 16:15 WIB

Kisah Warga Afrika yang Dievakuasi Dari Sudan

Banyak orang Afrika melarikan diri dari konflik di Sudan.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
Banyak orang Afrika melarikan diri dari konflik di Sudan.
Foto: AP
Banyak orang Afrika melarikan diri dari konflik di Sudan.

REPUBLIKA.CO.ID, HARARE -- Pauline Hungwe meringkuk di kamar mandi apartemennya di Sudan. Dia ketakutan dan sempat mengintip ke luar jendela untuk melihat dinding bangunan di dekatnya yang hancur karena terkena tembakan artileri.

Hungwe yakin unit apartemennya akan menjadi sasaran tembakan berikutnya dan dia akan mati.  Satu-satunya hal yang dia pikirkan adalah menelpon putranya di Zimbabwe.

Baca Juga

"Saya pikir saya akan mati. Saya menelepon putra saya, 'Saya pergi'," ujar Hungwe.

Hungwe tidak mengira dia akan selamat dari Sudan. Dia akhirnya tiba di Zimbabwe, setelah menempuh perjalanan yang melelahkan menuju tempat yang aman dengan bus, kapal, dan pesawat terbang. Hungwe berlutut dan mencium tanah di bandara ketika tiba di Zimbabwe.

Sementara itu, seorang guru Owen Shamu sedang mempersiapkan anak-anak di sebuah sekolah di Khartoum untuk mengikuti ujian, ketika tembakan terdengar beberapa meter dari kelas mereka. Tembakan ini membuatnya panik, terutama murid-muridnya.

Shamu telah menjaga dirinya dan keluarganya melalui hari-hari pertama pertempuran. Shamu yang merupakan warga negara Zimbabwe, harus memikirkan rencana untuk membawa keluarganya keluar dari Sudan dengan sedikit uang dan tanpa bantuan langsung dari negara asalnya. Shamu mengatakan, dia dan keluarganya tidak tahu bagaimana mereka akan bertahan hidup di tengah gempuran senjata.

Shamu berhasil selamat tiba di tanah airnya di Zimbabwe. Tetapi selama berhari-hari, putrinya, yang berusia 4 dan 15 tahun, masih berjuang untuk mengatasi trauma akibat perang di Sudan. Shamu membelikan balon kepada kedua putrinya untuk mengatasi ketakutan dan trauma mereka setelah menjalani pengalaman mengerikan di Sudan. Namun kedua putri Shamu menangis setiap kali mendengar suara balon meletus.

“Mereka berlindung dan menangis setiap kali mendengar balon meletus. Begitulah trauma mereka. Jadi saya harus membuang balon-balon itu," ujar Shamu.

Sementara itu, Amina Balarabe berjalan selama beberapa hari bersama keenam anaknya ke berbagai titik di Khartoum. Dia menghindari tembakan dan ledakan, dengan harapan bisa bergabung dengan konvoi evakuasi.

Balarabe berhasil menumpang bus yang membawanya meninggalkan Khartoum. Namun perjalanannya untuk pulang ke negara asalnya di Nigeria masih sangat jauh. Dia harus menempuh perjalanan selama lebih dari semiggu ke perbatasan Mesir.

Balarabe dan keluarganya tidur di padang pasir. Mereka kedinginan di malam hari. Balarabe berupaya mencari apapun untuk memberi makan anak-anaknya.

"Kami membayar mahal," kata Balarabe.

Banyak orang Afrika melarikan diri dari konflik di Sudan. Mereka menghadapi tantangan berat di jalan, karena pemerintah mereka berjuang untuk memobilisasi sumber daya. Beberapa dari mereka, seperti Balarabe, mengambil risiko untuk melarikan diri tanpa bantuan dari pemerintah.

“Kami menyumbangkan (uang) di antara kami sendiri untuk membeli makanan,” kata Shehu Hifzullah (19 tahun), seorang pelajar Nigeria yang kehabisan uang tunai pada hari ketiga pertempuran di Sudan dan harus bergantung pada orang lain.

Beberapa mahasiswa Afrika berlindung di Universitas Internasional Afrika di Khartoum.  Tap mereka juga harus melawan serangan orang-orang yang berkeliaran untuk menjarah dan merampok.

Nigeria mengevakuasi lebih dari 2.500 warganya, banyak dari mereka adalah pelajar. Sementara Pemerintah Afrika Selatan mengevakuasi hampir 100 orang, sebagian besar dalam konvoi bus. Zimbabwe berhasil mengevakuasi 63 warga negara termasuk Hungwe dan Shamu dalam dua gelombang.

Negara-negara lain hanya memiliki sedikit warga di Sudan dan tidak ada upaya untuk menyelamatkan mereka. Pendiri LSM Gift of the Givers yang membantu evakuasi Afrika Selatan Imtiaz Sooliman mengatakan, salah satu konvoi Afrika Selatan membawa seorang warga negara Lesotho dan sekelompok kecil dari Angola, yang tidak mendapat bantuan. Mereka juga membantu orang-orang dari Filipina dan Brasil.

Sooliman mengatakan, para pengungsi Afrika Selatan menghadapi kekurangan makanan dan air, serta putusnya jaringan telepon sehingga beberapa terisolasi. Sementara perempuan dan anak-anak terkena trauma psikologis perang saat mereka dievakuasi.

"Mereka (yang mengalami trauma) melaporkan melihat anak muda ditembak dan melewati puluhan mayat di jalan," kata Sooliman.

Seringkali, evakuasi dilakukan selama gencatan senjata antara pihak yang bertikai yaitu tentara Sudan dan kelompok paramiliter Pasukan Pendukung Cepat (RSF). Direktur perusahaan konsultan keamanan Signal Risk yang berfokus pada Afrika, Ryan Cummings mengatakan, gencatan senjata masih sangat lemah karena kurangnya kepercayaan antara kedua belah pihak.

Menurut Cummings, negara, kedutaan dan pejabat memiliki sedikit waktu dan ada risiko untuk merencanakan pelarian. Hal ini dikuatkan oleh Derek Morris, yang putranya Warwick termasuk di antara mereka yang dievakuasi dari Khartoum. Derek Morris menghubungi putranya melalui telepon saat mereka dievakuasi.  

“Mereka menyadari bahwa pertempuran sekarang telah terjadi di mana-mana. Bagian tubuh tergeletak di tanah, jasad-jasad itu mengeluarkan bau dan suhu di sana mencapai 41 derajat. Benar-benar tak tertahankan," kata Derek Morris.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement