REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO – Negara anggota G7 menyatakan penolakan atas klaim teritorial Cina di Laut Cina Selatan. Mereka pun menentang aktivitas militerisasi Beijing di wilayah perairan tersebut.
“Tak ada dasar hukum untuk klaim maritim Cina yang luas di Laut Cina Selatan, dan kami menentang aktivitas militerisasi Cina di wilayah tersebut,” demikian bunyi komunike para pemimpin negara anggota G7 setelah melaksanakan KTT di Hiroshima, Jepang, Sabtu (20/5/2023).
G7 menekankan peran penting United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) dalam menetapkan kerangka hukum yang mengatur semua kegiatan di samudra dan lautan.
“Kami tegaskan kembali bahwa putusan yang diberikan oleh Majelis Arbitrase pada tanggal 12 Juli 2016, merupakan tonggak penting, yang secara hukum mengikat para pihak dalam proses tersebut, dan dasar yang berguna untuk menyelesaikan perselisihan antara para pihak secara damai,” kata para pemimpin G7.
Pada Juli 2016, Mahkamah Arbitrase PBB menyatakan Cina tak memiliki dasar hukum untuk mengklaim wilayah perairan Laut Cina Selatan. Putusan itu sesuai dengan keberatan yang diajukan Filipina. Dalam putusannya, Mahkamah Arbitrase PBB mengatakan, tidak ada bukti sejarah bahwa Cina menguasai dan mengendalikan sumber daya secara eksklusif di Laut Cina Selatan.
Mahkamah Arbitrase PBB juga menyatakan Cina telah melanggar hak-hak kedaulatan Filipina. Beijing juga disebut merusak lingkungan terumbu karang di Laut Cina Selatan karena membangun pulau-pulau reklamasi di wilayah perairan tersebut. Cina menolak semua putusan Mahkamah Arbitrase PBB tersebut.
Belum lama ini ASEAN menegaskan perlunya menyelesaikan persengketaan klaim di Laut Cina Selatan secara damai. ASEAN menyambut kemajuan substantif dalam negosiasi kode etik atau Code of Conduct (CoC) di wilayah perairan tersebut.
ASEAN mengungkapkan, dalam KTT ke-42 yang digelar di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT), beberapa negara anggota menyampaikan kekhawatiran tentang insiden serius dan proyek reklamasi yang dilakukan Cina di Laut Cina Selatan. Mereka menilai, selain meningkatkan ketegangan, hal tersebut mengikis kepercayaan dan dapat merusak perdamaian serta stabilitas di kawasan.
“Kami selanjutnya menegaskan kembali perlunya mengupayakan penyelesaian sengketa secara damai sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang diakui secara universal, termasuk UNCLOS 1982,” demikian bunyi Chairman Statement of 42nd ASEAN Summit yang dirilis 11 Mei 2023 lalu.
ASEAN pun menegaskan kembali pentingnya menjaga dan mempromosikan stabilitas serta kebebasan navigasi di Laut Cina Selatan. “Kami menyambut baik upaya berkelanjutan memperkuat kerja sama antara ASEAN dan Cina serta didorong oleh kemajuan negosiasi substantif menuju kesimpulan awal CoC yang efektif dan substantive di Laut Cina Selatan yang konsisten dengan hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982,” kata ASEAN.
ASEAN menyambut kemajuan negosiasi terkait draf tunggal CoC lewat penyelenggaraan ASEAN-China Joint Working Group on the Implementation of the Declaration of Conduct (JWG-DOC) di Jakarta pada 8-10 Maret. “Kami menyambut inisiatif untuk mempercepat negosiasi CoC, termasuk proposal untuk mengembangkan pedoman untuk mempercepat penyelesaian awal CoC yang efektif dan substantif,” katanya.
Selain itu, ASEAN menekankan perlunya menjaga dan mempromosikan lingkungan yang kondusif bagi negosiasi CoC. “Kami menekankan pentingnya melakukan langkah-langkah membangun kepercayaan dan pencegahan untuk meningkatkan, antara lain, kepercayaan dan keyakinan di antara para pihak, dan kami menegaskan kembali pentingnya penegakan hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982,” kata ASEAN.