REPUBLIKA.CO.ID, PBB - Utusan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Sudan Volker Perthes mengatakan bahwa pihak-pihak yang bertikai di Sudan melanjutkan pertempuran tanpa menghormati hukum dan norma perang.
"Tanggung jawab pertempuran itu ada di tangan mereka yang mengobarkannya setiap hari, yaitu kepemimpinan kedua pihak yang memilih menyelesaikan konflik mereka di medan perang daripada di meja (perundingan)," kata Perthes dalam pengarahan di Dewan Keamanan PBB, Senin (22/5/2023).
"Keputusan merekalah yang menghancurkan Sudan dan mereka bisa mengakhirinya," ujar dia menambahkan.
Selama berminggu-minggu Sudan dilanda konflik antara tentara dan kelompok paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF). Kekerasan telah mengakibatkan lebih dari 700 korban tewas, 190 anak dan 6.000 orang terluka, serta kehancuran infrastruktur di negara Afrika tersebut.
Lebih dari satu juta orang telah mengungsi, lebih dari 840.000 di antaranya mencari perlindungan di daerah pedesaan dan negara bagian lain, sementara 250.000 orang lainnya telah melintasi perbatasan Sudan, menurut PBB.
"Etnisisasi yang berkembang dari konflik berisiko membawa negara itu ke dalam konflik berkepanjangan dan berdampak ke kawasan," kata Perthes, memperingatkan.
Pertempuran sejak 15 April 2023 itu dipicu oleh ketidaksepakatan di antara kedua belah pihak mengenai integrasi RSF ke dalam angkatan bersenjata, yang menjadi syarat utama dari perjanjian transisi Sudan dengan kelompok-kelompok politik.
Sudan tidak memiliki pemerintahan yang berfungsi sejak Oktober 2021, ketika militer membubarkan pemerintahan transisi Perdana Menteri Abdalla Hamdok dan mengumumkan keadaan darurat, sebuah langkah yang dikecam oleh kekuatan politik sebagai "kudeta".
Masa transisi, yang dimulai pada Agustus 2019 setelah penggulingan Presiden Omar al-Bashir, dijadwalkan berakhir dengan pemilu pada awal 2024.