REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sebanyak 53 warga negara Indonesia (WNI) yang terindikasi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Filipina berhasil dipulangkan ke Tanah Air. Proses repatriasi berjalan lancar berkat kerja sama KBRI Manila dengan otoritas Filipina, antara lain biro imigrasi dan kepolisian negara tersebut.
Proses pemulangan para WNI dilakukan dalam dua tahap. Pada 25 Mei 2023, repatriasi melibatkan 20 WNI. Kemudian sisanya dipulangkan pada 26 Mei 2023. “Para WNI yang berhasil direpatriasi ini merupakan bagian dari WNI yang diselamatkan dari daerah Clark, Pampanga, Filipina,” kata KBRI Manila dalam keterangan persnya yang dipublikasikan Kementerian Luar Negeri, Senin (29/5/2023).
KBRI Manila mengungkapkan, jumlah total WNI yang diselamatkan dari Clark, Pampanga, adalah sebanyak 242 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 114 WNI telah memperoleh izin meninggalkan Filipina. “Sisanya kurang lebih 126 orang masih harus menjalani proses oleh Biro Imigrasi Filipina,” ungkapnya.
Duta Besar Indonesia untuk Filipina Agus Widjojo mengatakan, penyelamatan WNI korban TPPO kali ini merupakan yang terbesar di Filipina. Dalam proses pemulangan, KBRI Manila terus melakukan pendampingan. Mulai dari pengurusan proses keimigrasian di Filipina, koordinasi dengan instansi terkait di Indonesia untuk penanganan pasca ketibaan, hingga mengantar para WNI ke Bandara Internasional Manila untuk dipulangkan ke Tanah Air.
Bulan ini para pemimpin negara anggota ASEAN telah sepakat untuk bekerja sama menanggulangi TPPO yang melibatkan penyalahgunaan teknologi. Mereka menilai, karena sifatnya yang kompleks, TPPO memerlukan tanggapan regional.
“Menegaskan kembali komitmen kami untuk kerja sama regional dan internasional yang lebih kuat dan lebih efektif melawat TPPO, sambil mengakui perbedaan dalam sistem hukum kita,” kata para pemimpin ASEAN dalam deklarasi tentang penanganan TPPO yang dirilis pada hari pertama penyelenggaraan KTT ASEAN ke-42 di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, 10 Mei 2023 lalu.
Para pemimpin ASEAN mengaku prihatin atas meningkatnya penyalahgunaan teknologi dalam memfasilitasi TPPO di Asia Tenggara dan global. Mereka menilai kejahatan tersebut menjamur lewat penggunaan media sosial dan platform daring lainnya. “Memahami sifat TPPO yang kompleks, lintas-sektoral, dan multidimensi, serta tantangan tambahan dalam pelaksanaannya melalui teknologi yang memerlukan tanggapan regional secara kolektif dan segera,” kata mereka.
Mereka menegaskan kembali kebutuhan untuk mempromosikan respons ASEAN yang kohesif dalam mengatasi ancaman saat ini dan masa depan yang timbul dari penyalahgunaan teknologi. Para pemimpin ASEAN menyatakan akan memperkuat kerja sama dan koordinasi terhadap TPPO yang dipicu penyalahgunaan teknologi melalui berbagai mekanisme regional dan inisiatif ASEAN.
Para pemimpin ASEAN mendorong penetapan standar minimum perlindungan di tingkat regional bagi korban TPPO. “Termasuk menjajaki pengembangan mekanisme rujukan regional melalui pemanfaatan mekanisme ASEAN yang ada untuk menghindari viktimisasi ulang, trauma ulang, dan eksploitasi berkelanjutan terhadap korban,” kata mereka.
Selain itu para pemimpin ASEAN menyatakan akan memperkuat kerja sama di bidang pengelolaan perbatasan, pencegahan, penyidikan, penegakan hukum dan penindakan, perlindungan, pemulangan serta dukungan seperti rehabilitasi dan reintegrasi korban. “Meningkatkan upaya pencegahan nasional, termasuk meningkatkan kampanye kesadaran publik dan sistem pengawasan ketenagakerjaan, meningkatkan kontrol lintas batas dan manajemen migrasi, serta memperkuat penggunaan teknologi maju,” kata para pemimpin ASEAN.