REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Kelompok Palestine Prisoners' Club (PPC) mengungkapkan, sebanyak 3.000 warga Palestina telah ditangkap dan ditahan Israel sejak awal tahun ini. PPC menilai, hal itu merupakan upaya Israel untuk melemahkan perlawanan Palestina.
PPC mengatakan, dari 3.000 warga Palestina yang ditahan, 100 di antaranya mendekam di kamp pengungsi Aqabat Jaber di Jericho. PPC menyebut, di kamp tersebut Israel menjalankan kampanye penahanan mematikan.
"Kampanye penahanan di Aqabat Jaber disertai dengan eksekusi lapangan dan penganiayaan sistematis terhadap para tahanan dan keluarga mereka," kata PPC, dikutip Middle East Monitor, Selasa (30/5/2023).
Selain itu, dari seluruh warga yang ditangkap dan ditahan oleh Israel, terdapat 18 anak laki-laki. Menurut PPC, tiga di antaranya ditahan di bawah penahanan administratif. PPC mengatakan, di luar penahanan atau hukuman kolektif, Israel juga melakukan blokade dan penghancuran rumah untuk menggerus perlawanan Palestina.
Pada 25 Mei 2023 lalu, pasukan Israel melakukan kampanye penahanan besar-besaran di Jericho. Mereka menggerebek sedikitnya 40 rumah dan menangkap 19 warga Palestina.
Bulan lalu lebih dari 30 pakar hak asasi manusia (HAM) independen PBB telah mendesak Jaksa Mahkamah Pidana Internasional (ICC) Karim Khan untuk segera menyelidiki potensi kejahatan perang yang dilakukan Israel di wilayah Palestina. Mereka mencemaskan kian meluasnya impunitas dibarengi dengan memburuknya situasi HAM di wilayah Palestina.
“Niat Anda yang dinyatakan untuk mengunjungi wilayah Palestina yang diduduki pada tahun 2023, Tuan Khan, adalah langkah penting ke arah ini dan kami berharap misi investigasi Anda akan berlangsung secepatnya tanpa penundaan,” kata para pakar HAM independen PBB dalam surat mereka yang bertajuk “Investigation into the situation in the State of Palestine” yang ditujukan kepada Karim Khan, dikutip kantor berita Palestina, WAFA, 6 April 2023 lalu.
Para pakar HAM PBB mendesak jaksa ICC untuk mempercepat peradilan sebagai langkah penting mengakhiri impunitas dan memulihkan hukum internasional serta tatanan berbasis HAM. Menurut mereka, hal itu menjadi benteng terakhir yang dapat menghentikan spiral kekerasan dan risiko yang ditimbulkannya bagi warga Palestina serta Israel.
"Dengan instrumen hukum yang kami miliki, kami memiliki kewajiban institusional dan moral bersama untuk bertindak melawan spiral ini, memastikan bahwa kekejaman masa lalu tidak dibiarkan begitu saja dan yang baru dicegah,” kata mereka.
“Dalam semangat ini, kami menyerukan lebih banyak sumber daya didedikasikan untuk penyelidikan tentang Situasi di Negara Palestina, termasuk kemungkinan kejahatan yang dilakukan oleh aktor pribadi, dan untuk membuatnya lebih mudah diakses oleh para korban serta masyarakat untuk mengirimkan informasi dan menghubungi penyelidik ICC,” kata para pakar HAM independen PBB menambahkan.