REPUBLIKA.CO.ID, KAMPALA -- Uganda pada Selasa (30/5/2023) mengutuk tanggapan Barat terhadap undang-undang anti-LGBTQ, yang dianggap sebagai salah satu undang-undang paling keras di dunia. Undang-undang anti-LGBTQ ditandatangani oleh Presiden Uganda, Yoweri Museveni. Undang-undang ini memuat hukuman mati bagi homoseksualitas yang mencakup penularan HIV melalui hubungan seksual sesama jenis.
Pengesahan undang-undang anti-LGBTQ ini menuai kecaman dari pemerintah Barat, dan membahayakan bantuan luar negeri yang diterima Uganda setiap tahun. Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden, mengancam pemotongan bantuan dan sanksi lainnya. Sementara Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, mengatakan pemerintah akan mempertimbangkan pembatasan visa terhadap pejabat Uganda.
Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Josep Borrell, mengatakan undang-undang anti-LGBTQ akan berdampak pada hubungan Uganda dengan mitra internasional. Menteri Penerangan Uganda, Chris Baryomunsi, menolak kecaman tersebut.
"Kami tidak menganggap homoseksualitas sebagai hak konstitusional. Itu hanya penyimpangan seksual yang tidak kami promosikan sebagai orang Uganda dan Afrika," ujar Baryomunsi kepada Reuters.
“Sementara kami menghargai dukungan yang kami dapatkan dari mitra, mereka harus diingatkan bahwa kami adalah negara berdaulat dan kami tidak membuat undang-undang untuk dunia Barat. Kami membuat undang-undang untuk rakyat kami sendiri di sini di Uganda. Jadi pemerasan semacam itu tidak dapat diterima," kata Baryomunsi.
Aktivis dan pengacara Uganda pada Senin (29/5/2023) mengajukan gugatan terhadap undang-undang anti-LGBTQ. Mereka mengatakan, undang-undang itu mendorong diskriminasi dan stimmatisasi. Mereka menyatakan, undang-undang tersebut disahkan tanpa partisipasi publik.
Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Volker Turk mengatakan, undang-undang anti-LGBTQ Uganda melanggar aspek konstitusi. Namun, Dia tidak memerinci aspek konstitusi mana yang dilanggar.
"Saya berharap pengadilan akan memeriksanya dan saya dapat memberi tahu Anda, jika mereka melihat hukum hak asasi manusia, konstitusi mereka sendiri, mereka akan menganggapnya melanggar," kata Turk.
Ditanya tentang dugaan pelanggaran hukum internasional, seorang juru bicara kemudian menambahkan, undang-undang itu melanggar hak atas kesetaraan, non-diskriminasi, dan hak untuk hidup. TotalEnergies Prancis, yang mengembangkan pipa minyak senilai 3,5 miliar dolar AS antara Uganda dan Tanzania mengatakan, CEO TotalEnergies telah menyampaikan pandangan perusahaan tentang rancangan undang-undang anti-LGBTQ kepada Museveni sebelum disahkan.
"Menghormati orang lain adalah nilai inti di TotalEnergies," kata seorang juru bicara perusahaan.