REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING – Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Cina, Wang Wenbin, mengatakan pada 30 Mei hingga 2 Juni 2023 lalu, sebuah delegasi Liga Arab telah mengunjungi Daerah Otonomi Uighur Xinjiang. Mereka terdiri atas 30 pejabat dari 16 negara Arab, termasuk Mesir, Arab Saudi, Aljazair, dan Sekretariat Jenderal Liga Arab.
Wang mengungkapkan, dalam kunjungannya, delegasi Liga Arab melakukan perjalanan ke Urumqi dan Kashgar. “Mereka mengunjungi masjid, lembaga-lembaga Islam, perusahaan lokal, kota tua, menghadiri pameran kontra-terorisme dan deradikalisasi, melakukan sholat di masjid bersama penduduk setempat serta mendapatkan pengalaman langsung tentang kehidupan bahagia mereka,” ucap Wang dalam pengarahan pers Senin (5/6/2023), dikutip laman resmi Kemenlu Cina.
Menurut Wang, kunjungan tersebut telah membuka mata para delegasi tentang Xinjiang. “Mereka mencatat bagaimana wilayah tersebut digambarkan secara berbeda di media Barat, yang tidak seperti yang mereka lihat. Mereka melihat Xinjiang yang menikmati keharmonisan sosial dan ekonomi yang berkembang pesat dengan penduduk dari semua kelompok etnis hidup serta bekerja dalam damai dan kepuasan,” ucapnya.
Dia mengatakan, para delegasi Liga Arab juga menyaksikan bagaimana penduduk Muslim di Xinjiang diberikan ruang untuk menjalankan hak-hak etnis serta agamanya dengan bebas sesuai hukum.
“Apa yang disebut ‘genosida’ dan ‘penganiayaan agama’ hanyalah kebohongan. Negara-negara Arab telah memuji kepedulian yang telah diterima oleh Muslim di Xinjiang dan orang-orang dari kelompok etnis minoritas lainnya serta menyatakan dukungan kuat mereka untuk upaya Cina mempromosikan pembangunan Xinjiang dan memastikan stabilitasnya,” ujar Wang.
Wang berpendapat, negara-negara Arab selalu memegang posisi adil di Xinjiang. “Cina menyambut teman-teman dari semua negara untuk mengunjungi Xinjiang dan mengalami langsung Xinjiang yang makmur, stabil, dan harmonis,” katanya.
Terdapat laporan yang menyebut bahwa 1 juta warga Uighur, Hui, dan minoritas Muslim lainnya telah ditahan di wilayah Xinjiang sejak 2017. Sejauh ini Cina selalu membantah adanya pelanggaran HAM sistematis, termasuk penahanan sewenang-wenang terhadap masyarakat Uighur di Xinjiang.
Namun, Beijing tak membantah tentang keberadaan kamp-kamp di wilayah tersebut. Pemerintah Cina mengeklaim, kamp-kamp tersebut merupakan pusat pendidikan vokasi.
Mereka didirikan untuk memberi pelatihan keterampilan pada warga Uighur. Dengan demikian, mereka dapat bekerja dan angka pengangguran di Xinjiang bisa menurun.