Kamis 15 Jun 2023 21:37 WIB

IOM Catat Lebih dari 2,2 Juta Orang Mengungsi Akibat Konflik Sudan

Konflik di Sudan dipicu ketidaksepakatan selama beberapa bulan terakhir.

Dalam foto yang disediakan oleh UNICEF ini, sekelompok pengungsi di Chad-Sudan, di Chad
Foto: Donaig Le Du/UNICEF via AP
Dalam foto yang disediakan oleh UNICEF ini, sekelompok pengungsi di Chad-Sudan, di Chad

REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) mencatat lebih dari 2,2 juta orang telah mengungsi sejak konflik meletus antara tentara Sudan dan kelompok paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) pada pertengahan April 2023. Dalam pernyataannya yang dirilis, Rabu (14/6/2023), IOM mengatakan sebanyak 1.670.991 orang mengungsi di dalam negeri Sudan dan 528.147 orang melarikan diri ke negara tetangga.

"Proporsi tertinggi pengungsi internal telah diamati di Darfur Barat (16,95 persen), Sungai Nil (14,12 persen), Nil Putih (13,56 persen), dan negara bagian Utara (11,32 persen)," kata IOM, mengutip Anadolu, Kamis (15/6/2023).

Baca Juga

Badan migrasi PBB itu menyatakan mayoritas orang yang mengungsi dari negara bagian Khartoum (64,45 persen), Darfur Barat (17,19 persen), Darfur Selatan (8,54 persen), Darfur Tengah (5,49 persen), Darfur Utara (3,04 persen), Kordofan Utara (0,26 persen), dan Al-Jazirah (0,03 persen).

Menurut organisasi itu, sedikitnya 205.565 penduduk melarikan diri ke Mesir, 149.383 orang ke Chad, 110.980 orang ke Sudan Selatan, 45.605 orang ke Ethiopia, 15.219 orang ke Republik Afrika Tengah, dan 1.395 orang ke Libya. Menurut petugas medis setempat, sedikitnya 958 warga sipil tewas dan 4.746 orang lainnya terluka dalam bentrokan antara tentara dan RSF.

Konflik di Sudan dipicu ketidaksepakatan selama beberapa bulan terakhir di antara kedua pihak tentang integrasi RSF ke angkatan bersenjata Sudan, yang menjadi syarat utama dari perjanjian transisi Sudan dengan kelompok-kelompok politik.

Sudan tidak memiliki pemerintahan yang berfungsi sejak Oktober 2021 saat militer membubarkan pemerintahan transisi Perdana Menteri Abdalla Hamdok dan mengumumkan keadaan darurat dalam sebuah langkah yang dikecam oleh kekuatan politik sebagai kudeta.

Masa transisi, yang dimulai pada Agustus 2019 setelah penggulingan Presiden Omar al-Bashir, dijadwalkan berakhir dengan pemilu pada awal 2024.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement