REPUBLIKA.CO.ID, ST PETERSBURG -- Presiden Rusia Vladimir Putindi Istana Constantine, St. Petersburg, pada Sabtu (17/6/2023) bertemu dengan delegasi perdamaian dari negara-negara Afrika yang ingin mengakhiri perang Rusia-Ukraina.
Sebelumnya, delegasi tersebut bertemu dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy di ibu kota Ukraina, Kiev, pada Jumat (16/6/2023).
Delegasi tersebut termasuk ketua Uni Afrika dan Presiden Komoro Azalo Assoumani, serta Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa, Presiden Senegal Macky Sall, Presiden Zambia Hakainde Hichilema, Perdana Menteri Mesir Mustafa Madbuli dan para kepala negara dari Kongo dan Uganda.
Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov dan Penasihat Kebijakan Yuriy Ushakov juga hadir dalam pertemuan yang berlangsung lebih dari tiga jam.
"Kami terbuka dengan dialog yang konstruktif dengan siapa pun yang ingin menciptakan perdamaian, berdasarkan prinsip keadilan dan mempertimbangkan kepentingan sah para pihak," kata Putin pada permulaan pertemuan.
Setelah mendengarkan penawaran 10 poin perdamaian dari Ramaphosa, Putin mengatakan masalah dimulai di Ukraina setelah "kudeta negara berdarah yang tidak konstitusional" yang didukung oleh Barat pada 2014, dan Putin mengklaim bahwa kudeta tersebut adalah "sumber kekuatan" dari pemerintahan saat ini.
Dengan memperhatikan bahwa Rusia mendukung beberapa warga Ukraina yang menyatakan tidak akan mendukung pemerintahan yang berkuasa dengan kudeta karena ikatan sejarah dan budaya, Putin mengatakan Perjanjian Minsk ditandatangani antara para pihak untuk menyelesaikan masalah dengan damai.
Putin menyatakan bahwa pemerintahan Kiev menarik diri dari proses perdamaian dengan tidak mematuhi perjanjian damai, sehingga Rusia setelah itu harus mengakui Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Lugansk, setelah delapan tahun menolak untuk melakukannya karena wilayah itu terbentuk di Ukraina.
Putin berpendapat bahwa pengakuan mereka atas pemerintahan-pemerintahan tersebut mengikuti hukum internasional dan Piagam PBB.
"Menurut Piagam PBB, pemerintahan-pemerintahan ini dapat mendeklarasikan kemerdekaannya," katanya.
Sembari mengumumkan angka jumlah ekspor makanan dari Ukraina per 15 Juni, Putin mengakui upaya Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dalam kesepakatan biji-bijian.
"Sebanyak 31,7 juta ton produk pertanian diekspor dari pelabuhan-pelabuhan Ukraina dengan bantuan Rusia dan Turki, 976 ribu ton produk pertanian dikirim ke negara-negara Afrika yang membutuhkan, yaitu Djibouti, Somalia, Sudan, Libya, dan Ethiopia," katanya.
"Pemerintahan neo-kolonial Eropa, atau lebih tepatnya pemerintahan Amerika, memperdayai masyarakat internasional dan negara-negara Afrika yang membutuhkan," katanya, menambahkan.
Sambil menegaskan bahwa Rusia "tidak pernah menolak negosiasi", Putin menyatakan pada Maret lalu, dengan bantuan Erdogan, delegasi dari Rusia dan Ukraina berunding di Turki.