REPUBLIKA.CO.ID, YANGON – Kelompok oposisi Myanmar yang membentuk pemerintahan bayangan National Unity Government (NUG) mengutuk langkah Thailand menggelar pertemuan informal dengan perwakilan junta untuk membahas krisis Myanmar. NUG diketahui terdiri atas loyalis Aung San Suu Kyi yang digulingkan militer Myanmar pada Februari 2021.
“Mengundang junta tidak sah ke diskusi ini tidak akan berkontribusi pada penyelesaian krisis politik Myanmar,” kata NUG dalam sebuah pernyataan, dikutip laman Asia One, Ahad (18/6/2023).
Selain NUG, sebanyak 81 aktivis Myanmar juga mengecam langkah Thailand menggelar pertemuan informal dengan junta. Mereka menyebut, apa yang dilakukan Negeri Gajah Putih merupakan kontradiksi terang-terangan dengan kebijakan ASEAN. Sebab saat ini ASEAN masih mengecualikan perwakilan junta dari pertemuan-pertemuan tingkat tinggi.
Republika sudah menghubungi Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI untuk meminta tanggapan terkait pertemuan informal yang diinisiasi Thailand dan turut mengundang perwakilan junta Myanmar. Saat ini Indonesia diketahui memegang kursi keketuaan ASEAN. Namun hingga berita ini ditulis, Kemenlu RI belum memberikan balasan atau tanggapan.
Pada Ahad malam lalu, Kemenlu Thailand mengungkapkan, dialog informal dengan perwakilan junta akan dimulai pada Senin (19/6/2023). Thailand menegaskan, dialog tersebut bukan merupakan pertemuan formal ASEAN. Namun ia meyakinkan, pertemuan itu akan membantu mendukung upaya ASEAN menyelesaikan krisis di Myanmar.
Menurut Kemenlu Thailand, selain perwakilan junta Myanmar, pertemuan informal di Bangkok juga bakal dihadiri perwakilan tingkat tinggi dari Laos, Kamboja, India, Cina, Vietnam, dan Brunei Darussalam. Namun tak dijelaskan level pejabat dari negara-negara terkait yang datang ke pertemuan tersebut.
Pada Sabtu (17/6/2023) lalu, tim informasi junta Myanmar mengungkapkan, mereka mengutus menteri luar negerinya, yakni Than Swe, ke pertemuan di Bangkok. “(Than Swe) diundang ke pertemuan di Thailand dan dia akan datang,” katanya.
Sejauh ini ASEAN masih mengucilkan Myanmar dari pertemuan tingkat tinggi. Hal itu karena Myanmar gagal menerapkan Lima Poin Konsensus (Five Point Consensus) yang diterbitkan ASEAN untuk mengatasi krisis sosial-politik di negara tersebut pasca terjadinya kudeta militer.
Krisis di Myanmar pecah setelah militer melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil di sana pada Februari 2021. Mereka menangkap pemimpin de facto Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan beberapa tokoh senior partai National League for Democracy (NLD). NLD adalah partai yang dipimpin Aung San Suu Kyi.
Setelah kudeta, hampir seluruh wilayah di Myanmar diguncang gelombang demonstrasi. Massa menentang kudeta dan menyerukan agar para pemimpin sipil yang ditangkap dibebaskan. Namun militer Myanmar merespons aksi tersebut secara represif dan brutal.
Menurut Assistance Association for Political Prisoners (AAPP), sedikitnya 3.240 warga sipil telah tewas di tangan militer Myanmar sejak kudeta terjadi. Penghitungannya tidak termasuk semua korban dari pertempuran.
Menurut PBB, setidaknya 1,2 juta orang juga telah terlantar atau kehilangan tempat tinggal akibat pertempuran pasca-kudeta.