Rabu 28 Jun 2023 07:42 WIB

Gara-Gara Halangi Mobil Ratu Thailand, Lima Warga Terancam Hukuman Mati

Iring-iringan mobil kerajaan biasanya memiliki keamanan yang ketat

Rep: Dwina Agustin/ Red: Esthi Maharani
 Raja Thailand Maha Vajiralongkorn Bodindradebayavarangkun (kiri) dan Ratu Thailand Suthida (kanan) Lima orang dituduh menghalangi mobil ratu menghadapi ancaman hukuman mati
Foto: EPA-EFE/NARONG SANGNAK
Raja Thailand Maha Vajiralongkorn Bodindradebayavarangkun (kiri) dan Ratu Thailand Suthida (kanan) Lima orang dituduh menghalangi mobil ratu menghadapi ancaman hukuman mati

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Pengadilan Thailand akan menjatuhkan vonis dalam kasus lima orang yang dituduh menghalangi iring-iringan mobil ratu selama pawai pro-demokrasi pada 2020 pada Rabu (28/6/2023). Pelanggaran itu dinilai dapat membawa hukuman mati.

Ratusan kasus pidana telah muncul dari protes yang dipimpin mahasiswa dalam beberapa tahun terakhir. Namun lima terdakwa adalah satu-satunya kasus dengan dakwaan melanggar Pasal 110 KUHP.

Baca Juga

Pasal itu sebagian melarang tindakan yang membahayakan kebebasan ratu, ahli waris, dan wali. Ada ketidakpastian bagian dari undang-undang tersebut telah digunakan dalam kasus sebelumnya atau belum.

Insiden tersebut terjadi setelah rapat umum di Bangkok pada 14 Oktober 2020. Momen itu sebagai peringatan pemberontakan rakyat pada tahun 1973 yang menyebabkan jatuhnya kediktatoran militer selama satu dekade.

Saat ratusan pengunjuk rasa berbaris ke Gedung Pemerintah. Iring-iringan mobil kerajaan dengan limusin yang membawa Ratu Suthida yang merupakan istri Raja Maha Vajiralongkorn dan putranya Pangeran Dipangkorn Rasmijoti yang saat itu berusia 15 tahun muncul di rute yang sama.

Gambar yang diposting di media sosial tidak menunjukkan perilaku mengancam yang jelas terhadap mobil ratu. Meskipun beberapa orang di kerumunan menahan hormat tiga jari yang khas dari gerakan pro-demokrasi.

Teriakan keras terdengar tetapi sebagian besar tidak jelas dapat terdengar dari kerumunan saat iring-iringan mobil yang dikurung oleh petugas polisi perlahan-lahan menerobos. Itu adalah pemandangan yang tidak biasa di Thailand. Iring-iringan mobil kerajaan biasanya memiliki keamanan yang ketat, dengan rute yang ditutup untuk umum jauh sebelumnya.

Aktivis mahasiswa Bunkueanun Paothong yang dikenal luas dengan nama panggilan Francis adalah salah satu terdakwa. Surat dakwaan tersebut menuduh pria berusia 23 dan rekan-rekan terdakwanya melepaskan diri dari pawai untuk mendesak sesama pengunjuk rasa untuk memblokir iring-iringan mobil. Dia juga dituduh berkelahi dengan petugas polisi yang mengamankan jalur mobil.

Dalam wawancara baru-baru ini dengan Associated Press, Francis membantah mengetahui iring-iringan mobil kerajaan akan berada di sekitarnya. Dia mendesak orang untuk menjauh dari mobil ratu begitu dia melihatnya.

Francis mengatakan, tuduhan itu mengatakan dia berkonspirasi dengan empat orang lainnya untuk merusak kebebasan ratu. "Namun jika seseorang telah melihat buktinya, jika seseorang ada di sana pada hari itu, mereka akan menyadari bahwa apa yang saya lakukan tidak ada salahnya mencoba untuk menghindarinya. Saya harus mengatakannya lagi sekarang: Saya tidak bermaksud menyakitinya," ujarnya.

Francis menyerahkan diri kepada polisi dua hari kemudian dan didakwa berdasarkan Pasal 110. Hukuman minimum untuk hukuman adalah 16 tahun penjara, tetapi hukuman mati atau penjara seumur hidup dimungkinkan jika terbukti terdakwa menyebabkan nyawa ratu dalam bahaya.

Kritsadang Nutcharat dari Thai Lawyers for Human Rights mengatakan, bukti tersebut mendukung para terdakwa dalam kasus ini. Namun tidak ada jaminan pengadilan akan menyetujuinya.

“Saya pikir ada kemungkinan putusan itu akan dipengaruhi oleh tren sosial, dan emosi, perasaan hakim, jaksa, atau masyarakat, tentang apakah orang-orang ini harus dinyatakan bersalah atau tidak,” katanya.

Para hakim di Thailand memiliki reputasi sebagai benteng konservatif yang melindungi institusi kerajaan.

Undang-undang Pasal 110 memperkuat status luhur keluarga kerajaan Thailand. Aturan ini sama dengan undang-undang lese majeste yang lebih sering digunakan yang membuat penghinaan terhadap raja, keluarga dekatnya, dan wali dapat dihukum tiga hingga 15 tahun penjara.

Kritikus telah lama menuduh bahwa hukum lese majeste atau pencemaran nama baik kerajaan yang umumnya dikenal sebagai Pasal 112 sering digunakan untuk membatalkan perbedaan pendapat politik. Tuduhan telah diajukan terhadap banyak aktivis pro-demokrasi yang seperti Francis memprotes pemerintah Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha yang didukung militer.

Tapi Move Forward Party yang progresif telah memperoleh kursi terbanyak dan suara terbanyak dalam pemilihan umum pada Mei. Partai ini menjanjikan reformasi di beberapa institusi, termasuk menemukan hukum lese majeste.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement