Sabtu 01 Jul 2023 15:46 WIB

PBB: Pembatasan Bantuan Kemanusiaan di Myanmar Kejahatan Perang

Krisis hak asasi manusia dan kemanusiaan di Myanmar semakin meluas.

 Demonstran lari dari gas air mata yang dilancarkan aparat keamanan saat melakukan protes terhadap kudeta militer di Yangon, Myanmar, 02 Maret 2021.
Foto: EPA-EFE/LYNN BO BO
Demonstran lari dari gas air mata yang dilancarkan aparat keamanan saat melakukan protes terhadap kudeta militer di Yangon, Myanmar, 02 Maret 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembatasan bantuan kemanusiaan yang diterapkan oleh penguasa militer Myanmar yang semakin ketat dapat diartikan sebagai kejahatan perang, menurut Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (OHCHR), Jumat (30/6/2023).

PBB dalam pernyataannya menyebut pembatasan tersebut dapat masuk dalam kategori kejahatan perang layaknya kejahatan lainnya seperti pembunuhan yang disengaja, penyiksaan dan perlakuan merendahkan, pembiaran kelaparan, dan hukuman kolektif.

Baca Juga

"Penolakan (bantuan kemanusiaan) yang disengaja seperti itu juga dapat (dikategorikan) kejahatan terhadap kemanusiaan seperti pembunuhan, pemusnahan, penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi lainnya, atau penganiayaan," tulis pernyataan tersebut.

Sejak kudeta militer pada 1 Februari 2021, OHCHR telah mendokumentasikan bagaimana juta Myanmar terus mengedepankan tujuannya di atas prioritas-prioritas lain, termasuk kebutuhan mendesak untuk menerima bantuan keselamatan jiwa.

Meskipun militer membuka akses bagi para pekerja kemanusiaan untuk mengirimkan bantuan, pergerakan mereka justru dibatasi dan dikontrol secara ketat, kata laporan itu.

Tak hanya itu, militer selama ini juga telah beroperasi seolah-olah mereka yang memberikan bantuan kepada masyarakat sipil. Krisis hak asasi manusia dan kemanusiaan Myanmar semakin meluas. Diperkirakan 1,5 juta orang telah mengungsi, dan sekitar 60.000 bangunan sipil dilaporkan telah dibakar atau dihancurkan.

Lebih dari 17,6 juta orang --sepertiga dari keseluruhan populasi-- memerlukan bantuan kemanusiaan. Secara keseluruhan, PBB melaporkan setidaknya 3.452 orang tewas di tangan militer dan afiliasinya, dan 21.807 orang telah ditangkap selama periode Februari 2021 sampai April 2023, mengutip "sumber-sumber yang dapat dipercaya".

"Laporan kami mengatakan situasi keamanan kian memburuk ... Pemberi bantuan secara konsisten dihadapkan pada risiko penangkapan, pelecehan atau perlakuan buruk lainnya, atau bahkan kematian," kata juru bicara OHCHR Ravina Shamdasani dalam jumpa pers dikutip situs web resmi kantornya.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement