Kamis 06 Jul 2023 08:55 WIB

Pakar: Jika Rusia-Ukraina Berdamai, Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Bisa Capai 5,7 Persen

Perekonomian global di tahun 2023 masih menghadapi tekanan.

Dua rudal Rusia menghantam sebuah restoran di Kota Kramatorsk, Ukraina timur pada Selasa (27/6/2023). Insiden ini menewaskan sedikitnya empat orang.
Foto: AP
Dua rudal Rusia menghantam sebuah restoran di Kota Kramatorsk, Ukraina timur pada Selasa (27/6/2023). Insiden ini menewaskan sedikitnya empat orang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Momen satu tahun kunjungan Presiden Joko Widodo ke Ukraina dan Rusia, pada 30 Juni, tahun lalu, menunjukkan kuatnya komitmen dan upaya nyata Indonesia dalam memelihara perdamaian. Kunjungan Presiden Jokowi juga merupakan yang pertama dari pemimpin Asia ke dua negara yang tengah dilanda perang tersebut, ditambah dengan  keluarnya komunike akhir KTT G20 di Bali, menunjukkan Indonesia secara konsisten menyerukan penyelesaian secara damai.

Menurut Direktur Center for Economic and Law Studies (think tank yang berbasis di Indonesia) Bhima Yudhistira, ndonesia memiliki kepentingan langsung dalam menengahi perdamaian antara Rusia dan Ukraina. Pasalnya, meskipun perang terjadi jauh ribuan kilometer, efeknya sangat terasa di seluruh Indonesia.

Baca Juga

Perang yang memicu kenaikan suku bunga di banyak negara akibat tingginya suku bunga AS, membuat permintaan ekspor Indonesia menurun  dan memperburuk tantangan yang sudah ada sebelumnya, serta mempersulit perusahaan-perusahaan untuk pulih dari kesulitan ekonomi pasca-Covid 19. 

Ia menambahkan, dampak langsung perang Rusia-Ukraina terhadap Indonesia itu dapat dilihat dengan mudah kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok, yang pada gilirannya juga menaikkan harga berbagai barang konsumsi lainnya. 

“Perang ini telah menimbulkan kerusakan yang luar biasa bagi prospek ekonomi global dan Indonesia,” kata Bhima. 

Oleh karena itu, ia berharap perang yang melibatkan dua negara produsen penting bagi banyak kebutuhan dunia ini segera diakhiri sehingga perekonomian bisa kembali normal. 

Bhima mengatakan, hampir semua negara berharap agar perdamaian antara Rusia dan Ukraina segera terwujud. Bhima mengacu pada Sidang Umum PBB di bulan Februari lalu, ketika 141 negara, termasuk Indonesia, mengutuk tindakan Rusia dan memilih untuk mendukung penarikan penuh pasukan Rusia dari Ukraina dengan segera dan tanpa syarat. 

Bhima juga menambahkan, alasannya, di dunia yang seolah semakin tidak memiliki batasan, ikatan antara satu negara dengan negara lain dan dengan ekonomi global semakin erat. Hampir tidak ada peristiwa yang terjadi di satu negara tidak memiliki dampak pada negara lainnya. 

Bhima mengatakan, jika perdamaian Rusia-Ukraina terjadi, efeknya  bagi perekonomian global akan luar biasa, termasuk bagi Indonesia. “Berdasarkan data Kementerian Keungan, ekonomi Indonesia bisa tumbuh diatas 5,3 persen sampai dengan 5,7 persen jika itu terjadi,” ujar Bhima, seperti dilansir pada Kamis (6/7/2023). 

Saat ini, setelah berkecamuknya perang sejak awal 2022 lalu, dunia dihadapkan dengan tingginya angka inflasi. Harga-harga melejit lantaran perang Rusia-Ukraina menutup rantai pasokan berbagai komoditas dan sumber energi. “Semakin cepat perang Rusia-Ukraina selesai, setidaknya gejolak ekonomi global bisa berkurang meski ada ancaman lain yang harus dihadapi, mulai dari inflasi, tren suku bunga, hingga cuaca ekstrem,” ujar Bhima.

Seperti dilansir dari Antara, perang Rusia-Ukraina menyebabkan kebijakan negara-negara cenderung bersifat domesti. Akibatnya, dunia semakin terfragmentasi, siklus perdagangan antar negara terganggu, dan tren globalisasi berubah menjadi deglobalisasi. 

Menurut Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Sosial Universitas Indonesia (LPEM UI), Teuku Riefky, kondisi ini akhirnya berimbas pada penurunan volume perdagangan global sehingga menghambat laju pertumbuhan ekonomi global. Selain itu, perekonomian global di tahun 2023 masih menghadapi tekanan yang berat, yakni dengan masih belum kembalinya laju inflasi global ke level sebelum pandemi, yang berarti suku bunga acuan global akan tetap tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama. 

“Akibatnya, likuiditas global masih yang masih ketat, sehingga biaya juga akan tetap tinggi,” kata Teuku Riefky. 

Di sisi lain, ruang fiskal di banyak negara semakin terbatas dengan meningkatnya utang akibat pandemi. Gejolak perbankan di AS dan Eropa juga menambah risiko dan ketidakpastian pasar keuangan global. Berlanjutnya kondisi tersebut akan membuat perekonomian kian terhimpit, karena potensi arus investasi semakin terhambat. 

Dampak langsung perang Rusia-Ukraina memang mendorong tingginya suku bunga. Berbagai negara di dunia pun terpaksa menaikkan suku bunga demi menurunkan angka inflasi mereka, termasuk AS yang merupakan kiblat perekonomian dunia. 

Ketika Bank Sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed) menahan suku bunga acuan pada level 5,0 - 5,25 persen, Bank Indonesia (BI) langsung meresponsnya dengan menaikkan suku bunga acuan atau BI-7 Day Reserve Repo Rate menjadi 5,75 persen. Dampaknya langsung terasa, yakni antara lain suku bunga kredit menjadi tinggi sehingga membuat perusahaan atau industri menunda pinjaman. Akibatnya, ada potensi penurunan di sisi industri. 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement