Selasa 11 Jul 2023 13:40 WIB

Ribuan Pengunjuk Rasa Anti-LGBT Bubarkan Festival Gay Pride di Georgia

Para pengunjuk rasa ini bentrok dengan polisi.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nidia Zuraya
Ilustrasi Festival gay pride.
Foto: EPA/DAI Kurokawa
Ilustrasi Festival gay pride.

REPUBLIKA.CO.ID, TBILISI -- Hingga 2.000 pengunjuk rasa anti-LGBT membubarkan festival Gay Pride di ibu kota Georgia, Tbilisi pada pekan lalu. Mereka bentrok dengan polisi dan menghancurkan alat peraga termasuk bendera pelangi dan plakat.

Penyelenggara menuduh pihak berwenang secara aktif berkolusi dengan para demonstran untuk mengganggu festival. Wakil Menteri Dalam Negeri Alexander Darakhvelidze mengatakan, kondisi festival tersebut membuat polisi sulit melakukan penjagaan karena diadakan di tempat terbuka dan dekat danau.

Baca Juga

"Para pengunjuk rasa berhasil menemukan ... cara untuk memasuki area acara, tetapi kami berhasil mengevakuasi para peserta dan penyelenggara Pride," kata Darakhvelidze.

"Tidak ada yang terluka selama insiden itu dan polisi sekarang mengambil tindakan untuk menstabilkan situasi," ujarnya.

Direktur Tbilisi Pride Mariam Kvaratskhelia mengkonfirmasi, semua peserta acara telah dievakuasi ke tempat yang aman tetapi mengkritik kebijakan pihak berwenang atas acara Pride. Kegiatan ini telah diadakan secara pribadi selama dua tahun berturut-turut untuk mengurangi risiko protes kekerasan semacam itu.

Kvaratskhelia mengatakan kelompok sayap kanan telah secara terbuka menghasut kekerasan terhadap aktivis LGBT pada hari-hari menjelang acara Pride. Namun polisi serta Kementerian Dalam Negeri menolak untuk menyelidiki.

"Saya benar-benar berpikir (gangguan) ini adalah tindakan terkoordinasi yang direncanakan sebelumnya antara pemerintah dan kelompok radikal... Kami pikir operasi ini direncanakan untuk menyabot pencalonan Georgia dari Uni Eropa," kata Kvaratskhelia.

Presiden Georgia Salome Zourabichvili menggemakan kritik terhadap polisi. Dia mengatakan,  mereka telah gagal dalam tugas untuk menegakkan hak masyarakat untuk berkumpul dengan aman.

Georgia bercita-cita untuk bergabung dengan Uni Eropa (UE). Namun Georgian Dream Party yang berkuasa telah menghadapi kritik yang meningkat dari kelompok hak asasi manusia dan UE atas anggapan penyimpangannya ke arah otoritarianisme.

Negara di Asia Barat ini telah mengeluarkan undang-undang yang menentang diskriminasi dan kejahatan rasial. Hanya saja kelompok hak asasi LGBT mengatakan, terdapat perlindungan yang kurang memadai oleh petugas penegak hukum dan homofobia masih tersebar luas di negara yang konservatif secara sosial.

Dua tahun lalu, beberapa jurnalis dipukuli saat penyerangan terhadap aktivis LGBT di Tbilisi. Salah satu jurnalis yang merupakan juru kamera Alexander Lashkarava kemudian ditemukan tewas di rumahnya, memicu protes kemarahan di ibu kota Georgia. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement