REPUBLIKA.CO.ID, IDLIB – Di bawah sinar matahari yang terik, Hamida Dandoush memercikkan air ke tenda pengungsinya. Berharap percikan air itu membantu mendinginkan tenda yang dihuni ia dan keluarganya di tengah hawa panas yang tinggi.
Perempuan berusia 62 tahun itu, berasal dari Kota Maardabsah itu kini bertahan hidup di kamp Saharah, dekat perbatasan Suriah-Turki. Sekitar 80 keluarga berada di kamp tersebut, hidup dalam kekurangan dan kini harus menahan serangan panas.
"Kami seakan berada di dalam sebuah oven, berjuang bisa bernapas normal di dalam tenda yang diterpa panas. Kalau saja kami tak memercikan air ke tenda, sepertinya kami sekarat karena panas yang tinggi,’’ kata Dandoush kepada Aljazirah, Sabtu (15/7/2023).
Dandoush, tinggal di tenda pengungsian bersama anak perempuan dan cucu laki-lakinya. Tiap hari, ia berupaya membuat segala sesuatu menjadi dingin. Termasuk menempatkan cucunya di bak plastik kemudian mengguyurnya dengan air dingin.
Ia menuturkan, jika orang dewasa seperti dirinya saja tak mampu menahan hawa panas, apalagi anak-anak kecil? Sehari sebelumnya, si cucu laki-lakinya mulai gemetaran dan kesulitan bernapas akibat cuaca panas yang menyengat.
"Kami membawanya ke rumah sakit dan mereka memberi tahu kami ini terjadi karena panas di dalam tenda,’’ kata Dandoush. Cuaca panas memengaruhi pengungsi Suriah di barat laut Suriah, yang diperkirakan semakin panas dalam beberapa waktu mendatang.
Apalagi bagi pengungsi yang mau tak mau tinggal di dalam tenda karena tak ada mekanisme pendinginan udara. Apalagi terbuat dari nilon, bahan yang menyerap panas.
Hazem al-Hajji (30), pengungsi asal Idlib yang kini bertahan di tenda pengungsian dekat perbatasan Suriah-Turki, mengumpulkan anak-anaknya kemudian menyemprotnya dengan air. Mencoba menghibur mereka dan menurunkan sengatan hawa panas.
"Anak-anak kami mesti bertahan dari daya yang mereka miliki. Setelah tak lama lepas dari musim dingin yang menggigit, kini mereka harus menahan panas yang menyengat,’’ kata al-Hajji. Kebanyakan tenda pengungsi tak punya alat pendingin memadai.
Bahkan, jelas dia, mereka berharap matahari tak terbit karena tak sanggup menahan panas. Sebagian memilih berendam di pemandian umum untuk mendinginkan tubuh. ‘’Saya dan anak-anak ke sana setelah tangki air habis isinya,’’ Khaled Barakat, pengungsi dari Hazarin.
Lebih dari 811 kamp pengungsi di barat laut Suriah mengalami kelangkaan air. Kamp lainnya persediaan airnya dikurangi karena kian menyusutnya dukungan dari lembaga donor serta penggunaan air yang meningkat akibat hawa panas.
Syrian Civil Defence yang juga dikenal dengan sebutan White Helmets mengingatkan pengungsi jangan sampai terekspos matahari dalam waktu lama. Dalam beberapa hari ke depan, suhu bisa 42 derajat Celcius. Mereka juga diminta mengonsumsi lebih banyak air.