REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Mantan presiden Rusia, Dmitry Medvedev, kerap melontarkan ancaman perang nuklir. Awal tahun ini, dia memperingatkan NATO bahwa kekalahan Rusia di Ukraina dapat memicu perang nuklir.
"Kekalahan Rusia dalam perang konvensional dapat memicu perang nuklir. Kekuatan nuklir tidak pernah kalah dalam konflik besar," ujar Medvedev, dilaporkan Aljazirah.
Medvedev saat ini menjabat sebagai wakil ketua dewan keamanan di bawah pemerintahan Presiden Vladimir Putin. Medvedev menjabat sebagai presiden dari 2008 hingga 2012.
Pernyataan Medvedev soal perang nuklir didukung oleh Kremlin, yang mengatakan bahwa pernyataan mantan presiden tersebut sepenuhnya sesuai dengan prinsip Moskow. Doktrin Moskow mengizinkan serangan nuklir ketika negara terancam.
Medvedev pernah menampilkan dirinya sebagai seorang reformis yang siap bekerja dengan Amerika Serikat untuk meliberalisasi Rusia. Namun kini, dia menggambarkan dirinya sebagai tokoh dalam lingkaran terdekat Putin yang paling vokal di hadapan publik.
Sejak Rusia menginvasi Ukraina hampir setahun yang lalu pada 24 Februari, Medvedev telah berulang kali melontarkan ancaman kekacauan nuklir. Dia juga kerap mengkritik dan melontarkan cercaan terhadap Barat. Rusia dan Amerika Serikat, sejauh ini merupakan kekuatan nuklir terbesar. Kedua negara ini memiliki sekitar 90 persen hulu ledak nuklir dunia.
Rusia memiliki 5.977 hulu ledak nuklir, Amerika Serikat memiliki 5.428, Cina 350, Prancis 290 dan Inggris 225. Sementara NATO memiliki keunggulan militer konvensional atas Rusia. Dalam hal senjata nuklir, Rusia memiliki keunggulan nuklir atas aliansi NATO di Eropa. Sebagai presiden, Putin adalah pembuat keputusan utama Rusia dalam penggunaan senjata nuklir.
Putin menyebut operasi militer khusus Rusia di Ukraina sebagai pertempuran eksistensial dengan Barat yang agresif dan arogan. Putin mengatakan, Moskow akan menggunakan semua cara untuk melindungi dirinya sendiri.
Invasi Rusia ke Ukraina pada 24 Februari telah memicu salah satu konflik paling mematikan di Eropa sejak Perang Dunia Kedua. Invasi ini menjadi konfrontasi terbesar antara Moskow dan Barat sejak Krisis Misil Kuba 1962.
Pada Maret 2023, Medvedev kembali melontarkan ancaman perang nuklir. Dia mengatakan, ancaman konflik nuklir tidak akan mereda karena hubungan Rusia dengan Barat telah mencapai titik terendah sepanjang masa.
"Tidak, tidak berkurang, malah meningkat. Setiap hari ketika mereka (Barat) memberikan senjata kepada Ukraina, maka membawa kiamat nuklir semakin dekat," ujar Medvedev.
Medvedev mengecam AS dan NATO sebagai upaya untuk memecah dan menghancurkan Rusia. Dia mencatat bahwa, kekuatan nuklir Rusia telah memberikan pencegah yang kuat di tengah pertempuran di Ukraina.
Medvedev menjabat sebagai presiden Rusia dari 2008 hingga 2012. Pejabat Barat secara luas menilai Medvedev cenderung lebih liberal ketimbang Putin. Banyak orang di Barat mengharapkan Medvedev untuk memenangkan masa jabatan kedua dan selanjutnya melunakkan kebijakan Kremlin. Tetapi dia mengundurkan diri sehingga memberikan peluang kepada Putin untuk merebut kembali kursi kepresidenan. Para kritikus Kremlin mengecam langkah ini sebagai manipulasi sinis.