Rabu 09 Aug 2023 20:11 WIB

Negara-Negara Industri Didesak Ambil Lebih Banyak Aksi Lindungi Hutan Amazon

Negara anggota Amazon Cooperation Treaty Organization menggelar KTT di Brasil.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nidia Zuraya
Hutan hujan Amazon
Foto: Jorge.kike.medina/wikimedia
Hutan hujan Amazon

REPUBLIKA.CO.ID, BRASILIA – Negara anggota Amazon Cooperation Treaty Organization (ACTO) mendesak negara-negara industri mengambil lebih banyak aksi untuk melindungi hutan Amazon di tengah berlangsungnya perubahan iklim. ACTO terdiri dari Brasil, Bolivia, Kolombia, Ekuador, Guyana, Peru, Suriname, dan Venezuela.

Para pemimpin negara ACTO telah menggelar KTT selama dua hari di Belem, Brasil, yang berakhir pada Rabu (9/8/2023). Itu merupakan KTT ACTO pertama dalam 14 tahun. ACTO sendiri telah berdiri selama 45 tahun.

Baca Juga

“Hutan menyatukan kita. Inilah saatnya untuk melihat ke jantung benua kita dan mengkonsolidasikan, sekali dan untuk selamanya, identitas Amazon kita,” kata Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva dalam KTT tersebut.

“Amazon adalah paspor kita menuju hubungan baru dengan dunia, hubungan yang lebih simetris, di mana sumber daya kita tidak dieksploitasi untuk menguntungkan segelintir orang, melainkan dihargai dan digunakan untuk melayani semua orang,” tambah Lula.

KTT tersebut memperkuat strategi Lula untuk meningkatkan kepedulian global terhadap pelestarian Amazon. Didorong oleh penurunan deforestasi sebesar 42 persen selama tujuh bulan pertama masa jabatannya, saat ini dia mencari dukungan keuangan internasional untuk perlindungan Amazon.

Semua negara anggota ACTO telah meratifikasi Perjanjian Iklim Paris. Perjanjian tersebut mengharuskan para penandatangan menetapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca. Namun kerja sama antar anggota ACTO dalam hal tersebut secara historis dipandang masih minim. Hal itu karena rendahnya rasa saling percaya dan perbedaan ideologis.

KTT ACTO terbaru melahirkan “Belem Declaration”. Namun dalam deklarasi tak dimuat komitmen bersama untuk mewujudkan nol deforestasi pada 2030. Lula da Silva berharap dokumen tersebut dapat menjadi seruan bersama pada konferensi iklim COP 28 yang diagendakan digelar November mendatang.

Salah satu isu yang masih “memecah” negara anggota ACTO adalah perihal minyak. Presiden Kolombia Gustavo Petro menyerukan diakhirinya eksplorasi minyak di hutan Amazon. Seruan itu dinilai sebagai sebuah sentilan terhadap negara-negara penghasil minyak di kawasan tersebut. “Hutan yang mengekstraksi minyak – apakah mungkin mempertahankan garis politik pada tingkat itu? Bertaruh pada kematian dan menghancurkan kehidupan?” kata Petro.

Meski mendukung perlindungan Amazon, pemerintahan Lula da Silva masih belum mengambil sikap definitif terkait eksplorasi minyak di Amazon. Perusahaan minyak milik pemerintah Brasil, yakni Petrobas, saat ini sedang mencari minyak di dekat muara Sungai Amazon.

Sementara itu Presiden Bolivia Luis Arce mengatakan Amazon telah menjadi korban kapitalisme. Hal itu tercermin dari perluasan perbatasan lahan untuk pertanian dan eksploitasi sumber daya dalam. Dia mencatat bahwa negara-negara industri bertanggung jawab atas sebagian besar emisi gas rumah kaca bersejarah.

“Fakta bahwa Amazon adalah wilayah yang sangat penting tidak berarti bahwa semua tanggung jawab, konsekuensi, dan dampak krisis iklim harus jatuh ke tangan kita, kota kita, dan ekonomi kita,” kata Arce.

Gustavo Petro berargumen bahwa negara-negara kaya harus menukar utang luar negeri yang terutang oleh negara-negara di wilayah Amazon untuk aksi iklim. Menurutnya hal itu akan menciptakan investasi yang cukup untuk menggerakkan ekonomi kawasan Amazon.

Beberapa ilmuwan mengatakan bahwa ketika 20 hingga 25 persen hutan Amazon hancur, curah hujan akan menurun drastis. Akibatnya lebih dari separuh dari luas Amazon bisa menjadi sabana tropis dan menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati besar-besaran.

Menurut laporan MapBiomas Brasil, Amazon kehilangan 18 pohon per detik tahun lalu. Laporan mereka yang dirilis pada 18 Juli 2022 lalu mengungkapkan, Brasil kehilangan sekitar 16.667 kilometer persegi atau 1,65 juta hektare vegetasi asli pada 2021. Cakupan tersebut lebih besar daripada luas negara Irlandia Utara. Pada 2020, luas hutan yang hilang mencapai 13.789 kilometer persegi.

Menurut MapBiomas, hampir 60 persen lahan yang mengalami deforestasi pada 2021 berada di Amazon. "Di Amazon saja, 111,6 hektare per jam atau 1,9 hektar per menit telah digunduli, yang setara dengan sekitar 18 pohon per detik," ungkap MapBiomas, sebuah jaringan LSM, universitas, dan perusahaan teknologi yang bekerja sama memahami transformasi teritorial Brasil lewat pemetaan lahan rutin, dikutip laman TRT World.

MapBiomas mengatakan, perambahan hutan untuk pertanian menjadi penyebab utama deforestasi. Praktik tersebut menyumbang 97 persen penggundulan hutan di Amazon. Penambangan ilegal juga merupakan faktor utama.

Dalam tiga tahun terakhir, deforestasi di Brasil mencapai sekitar 42 ribu kilometer persegi atau hampir seluas Rio de Janeiro. Data dari National Institute of Space Research (INPE) menunjukkan, antara Januari dan Juni 2022, penggundulan hutan Amazon di Brasil mencapai 3.988 kilometer persegi.

Pemerintahan mantan presiden Brasil Jair Bolsonaro dianggap berperan penting dalam isu deforestasi Amazon. Menurut data statistik pemerintah Brasil, rata-rata deforestasi tahunan Amazon meningkat sebesar 75 persen selama kepresidenan Bolsonaro dibandingkan dengan satu dekade sebelumnya.

Para pemerhati lingkungan menuduh Bolsonaro secara aktif mendorong deforestasi untuk keuntungan ekonomi. Selain itu pemerintahan Bolsonaro dituduh melemahkan lembaga penelitian dan perlindungan hutan. 

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement