REPUBLIKA.CO.ID, GURGAON -- Setelah bentrokan di distrik Nuh, negara bagian Haryana, India, pada tanggal 31 Juli lalu, kini umat Islam yang telah alami kekerasan dan terusir mendapatkan larangan untuk tinggal di 50 Desa dari tiga Distrik di Haryana. Larangan tersebut muncul melalui surat yang beredar mengatasnamakan 50 dewan desa (panchayat) dari tiga Distrik, yakni Rewari, Mahendergarh dan Jhajjar di negara bagian Haryana, India.
Surat yang beredar tersebut memiliki kata-kata redaksi yang sama, melarang masuknya warga muslim atau para pedagang Muslim di 50 Desa di tiga distrik di Haryana tersebut. Surat-surat itu seolah ditandatangani oleh para kepala desa, menyebut, warga Muslim yang tinggal di desa-desa tersebut harus menyerahkan dokumen identitas mereka kepada polisi.
Bahkan, sebagian besar desa hampir dibersihkan dari warga muslim, sehingga tidak memiliki penduduk dari komunitas minoritas, hanya warga Hindu saja. Kecuali ada beberapa desa dengan beberapa pengecualian, yakni keluarga yang telah tinggal selama tiga hingga empat generasi.
"Kami tidak bermaksud melukai sentimen agama siapa pun," demikian bunyi surat-surat itu.
Hakim sub-divisi Narnaul dari distrik Mahendergarh, Manoj Kumar mengatakan kepada Times of lndia, bahwa ia belum menerima salinan fisik dari surat-surat tersebut, tetapi ia telah melihatnya di media sosial dan meminta kantor di wilayahnya untuk mencari tahu asal surat pemberitahuan tersebut sehingga sampai ke semua panchayat, atau setingkat kelurahan.
"Mengeluarkan surat seperti itu melanggar hukum. Meskipun kami belum menerima surat seperti itu dari panchayat. Saya mengetahui hal ini melalui media dan media sosial," katanya. "Komunitas minoritas bahkan tidak mencapai 2 persen dari populasi di desa-desa ini. Semua orang hidup dalam harmoni dan pemberitahuan seperti itu hanya akan mengganggu hal itu," tambahnya.
Pejabat lain, ketika ditanya mengapa ia mengeluarkan surat tersebut, Kepala Desa Saidpur, di distrik Mahendergarh, Vikas mengatakan bahwa bentrokan di distrik Nuh merupakan pemicu terbaru, tetapi ia menuduh di desanya telah mencatat beberapa kasus pencurian pada bulan Juli lalu.
"Semua insiden yang tidak menguntungkan ini mulai terjadi setelah orang luar mulai memasuki desa kami. Tepat setelah bentrokan Nuh, kami mengadakan sebuah pertemuan pada tanggal 1 Agustus dan memutuskan untuk tidak mengizinkan mereka masuk ke desa kami untuk menjaga perdamaian," kata Vikas.
Walaupun, ia mengaku telah menarik surat tersebut setelah penasihat hukumnya mengatakan kepadanya bahwa itu melanggar hukum, karena mengucilkan sebuah komunitas berdasarkan agama. "Saya tidak tahu bagaimana surat itu bisa beredar di media sosial. Kami telah menariknya," katanya.
Menurut Vikas, Saidpur adalah desa pertama yang mengeluarkan surat tersebut dan desa-desa lainnya menyusul. "Sekitar 35 surat dikeluarkan dari wilayah Atali di Mahendergarh, dan sisanya dari Jhajjar dan Rewari," katanya.
Seorang penduduk desa tetangga, Tajpur, mengutip berita tentang kekerasan di Nuh dan dorongan dari "bade log (orang kuat)" untuk mengeluarkan surat tersebut. "Kami tidak memiliki masalah di sini. Tetapi ada panggilan dan kunjungan dari bade log, yang mungkin telah menyebabkan episode tersebut," katanya.
Dengan total 750 rumah tangga, desa ini tidak memiliki keluarga dari komunitas minoritas. Penduduk setempat juga mengatakan bahwa mereka tidak memiliki kekhawatiran seperti itu.
"Kami sama sekali tidak tertarik dengan hal-hal yang bukan urusan kami," kata Rohtas Singh, sambil mengocok setumpuk kartu di bawah pohon peepal di depan kuil desa.
"Kami menjalani kehidupan yang sederhana dan damai. Kami tahu apa yang terjadi di Nuh, tetapi kami tidak memiliki ketegangan komunal atau masalah keamanan di sini," katanya menambahkan.
Ditanyai pertanyaan yang sama, kepala desa lain bernama Rajkumar mengatakan bahwa ia mendapat telepon dari Vikas, yang mengatakan bahwa semua orang telah mengeluarkan surat tersebut dan ia pun diminta harus melakukannya.
"Itu tindakan pencegahan dan saya tidak melihat adanya bahaya... Kami memiliki contoh surat yang telah ia keluarkan. Kami hanya menyalinnya," kata Rajkumar.
Di desa tetangga lainnya, Kunjpura, di mana terdapat sekitar 100 orang dari komunitas minoritas muslim yang tinggal di sana, ketika ditanya soal ancaman ini ia mengaku tak khawatir.
"Kami hidup bersama. Kami mendengar tentang Nuh, tapi kami tidak terpengaruh. Keluarga saya telah tinggal di sini selama empat generasi. Ini adalah rumah saya," kata Majid, yang juga seorang pedagang.
Seorang pegawai departemen kesehatan, Shazeb, mengatakan bahwa desa tersebut memiliki sekitar 80 pemilih dari komunitasnya. "Kami tidak pernah memiliki perbedaan. Agama tidak mempengaruhi persahabatan kami. Kami telah tumbuh bersama," katanya sambil bersepeda bersama istrinya.
Kepala desa Kunjpura, Narender, yang tidak mengeluarkan surat semacam itu, mengatakan bahwa beberapa orang dari wilayah Mewat datang ke desa mereka untuk beternak sapi dan bisnis-bisnis lainnya.
"Namun demikian, apa yang terjadi di Nuh telah menghentikan bisnis-bisnis ini ... Ada beberapa orang dari wilayah ini yang tinggal di sini, tetapi mereka pergi untuk kembali ke keluarga mereka di Nuh," katanya.