Jumat 18 Aug 2023 12:17 WIB

PBB Peringatkan Bencana Kelaparan dan Kerja Paksa di Korut

PBB telah menerima laporan kelaparan yang mempengaruhi sejumlah wilayah di Korut.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nidia Zuraya
Warga berjalan dengan mengenakan masker di jalan sepanjang Stasiun Kereta Api Pyongyang di Distrik Pusat Pyongyang, Korea Utara, Jumat (4/11/2022).
Foto: AP/Cha Song Ho
Warga berjalan dengan mengenakan masker di jalan sepanjang Stasiun Kereta Api Pyongyang di Distrik Pusat Pyongyang, Korea Utara, Jumat (4/11/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Kepala Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Volker Turk memperingatkan bencana kelaparan dan kerja paksa di Korea Utara. Turk mengatakan kepada Dewan Keamanan PBB, penderitaan manusia tersebut dapat menimbulkan ketidakstabilan secara internal, dan memiliki implikasi yang lebih luas.

"Ini adalah hasil dari kebijakan pemerintah yang awalnya dikaitkan dengan penanggulangan pandemi Covid-19, tetapi telah berkembang semakin luas seiring dengan berkurangnya pandemi," kata Turk selama pertemuan pertama yang berfokus pada hak asasi manusia di Korea Utara sejak 2017. 

Baca Juga

Turk mengatakan, berdasarkan informasi yang dikumpulkan oleh kantor hak asasi manusia PBB melalui wawancara dan informasi publik yang dikeluarkan oleh Pemerintah Korea Utara menunjukkan, ada peningkatan penindasan terhadap hak atas kebebasan berekspresi, privasi dan pergerakan. Selain itu, meluasnya praktik kerja paksa, dan memburuknya situasi ekonomi dan hak sosial karena penutupan pasar dan bentuk lain dari pendapatan.

"Penderitaan itu diperparah oleh kerawanan pangan yang parah, banyak warga Korea Utara mengalami kelaparan ekstrem serta kekurangan obat-obatan," kata Turk, dilaporkan Anadolu Agency, Kamis (17/8/2023).

Turk mencatat bahwa, PBB telah menerima laporan kelaparan yang memengaruhi sejumlah wilayah di Korea Utara yang tertutup itu. Turk mengatakan, Pyongyang menolak tawaran bantuan kemanusiaan internasional.

“Sampai saat ini, tawaran bantuan kemanusiaan sebagian besar telah ditolak atau dibuat tidak mungkin karena penutupan perbatasan. Para pelaku kemanusiaan internasional, termasuk tim negara PBB, tetap dilarang masuk ke negara itu bersama dengan hampir semua warga negara asing lainnya,” kata Turk. 

Amerika Serikat, yang memegang kepresidenan Dewan Keamanan PBB pada Agustus mengatakan, kendali totaliter represif pemimpin Korea Utara Kim Jong-un terhadap masyarakat, dan penolakan sistemik yang meluas terhadap hak asasi manusia, serta kebebasan fundamental memastikan rezim tersebut dapat menghabiskan sumber daya publik yang berlebihan. Terutama untuk mengembangkan senjata pemusnah massal yang melanggar hukum dan program rudal balistik tanpa keberatan publik.

“Mesin perang ini melanggar berbagai resolusi Dewan Keamanan, dan didukung oleh represi dan kekejaman. Rezim mengabaikan kesejahteraan rakyat di DPRK (Democratic People's Republic of Korea, nama resmi Korea Utara). Kebijakan distribusi makanannya, berpihak pada militer dan menyebabkan kekurangan gizi kronis di antara warganya," kata Duta Besar AS untuk PBB, Linda Thomas-Greenfield.

Cina dan Rusia telah lama memberikan perlindungan diplomatik Pyongyang di Dewan Keamanan. Utusan Cina, Geng Shuang, mengatakan, situasi hak asasi manusia di Korea Utara tidak menimbulkan ancaman bagi perdamaian dan keamanan internasional, yang secara fundamental ditugaskan oleh Dewan Keamanan untuk memastikannya di bawah Piagam PBB.

"Mendorong dewan untuk mempertimbangkan situasi hak asasi manusia di DPRK tidak hanya akan membantu meredakan, tetapi juga meningkatkan situasi. Itu tidak bertanggung jawab, tidak konstruktif, dan menyalahgunakan kekuasaan dewan," ujar Geng. 

Rusia menyebut sesi pertemuan di Dewan Keamanan pada Kamis sebagai provokasi. Rusia mengatakan, sanksi internasional yang dijatuhkan pada Korea Utara terus mencekik rakyat Korea Utara secara konsisten. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement