Senin 21 Aug 2023 08:12 WIB

Anggota BRICS Incar Pergeseran Geopolitik Global

Negara anggota BRICS akan menggelar KTT tiga hari di Johannesburg.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nidia Zuraya
Logo Aliansi BRICS
Foto: EPA/SERGEI ILNITSKY
Logo Aliansi BRICS

REPUBLIKA.CO.ID, JOHANNESBURG -- Para pemimpin negara anggota BRICS bertemu di Johannesburg untuk memperluas pengaruh aliansi itu dan mendorong perubahan geopolitik global. Presiden Afrika Selatan, Cyril Ramaphosa, diperkirakan akan menjadi tuan rumah bagi Presiden Cina Xi Jinping, Perdana Menteri India Narendra Modi, dan Presiden Brazil Luiz Inacio Lula da Silva untuk KTT tiga hari, yang dimulai pada Selasa (22/8/2023).

Presiden Rusia Vladimir Putin juga akan bergabung dari jarak jauh. Putin memutuskan untuk tidak hadir secara langsung akibat dari surat perintah penangkapan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC). Sebagai gantinya, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov akan melakukan perjalanan ke Johannesburg bergabung dalam kegiatan yang berlangsung dari 22-24 Agustus 2023.

Baca Juga

Mewakili miliaran orang di tiga benua, dengan ekonomi yang mengalami berbagai tingkat pertumbuhan, negara-negara BRICS memiliki satu kesamaan. Mereka mencoba menyaingi dari konsep kepentingan kekuatan Barat yang kaya.

Kursi keketuaan BRICS tahun ini dipegang oleh Cina. BRICS kerap dipandang sebagai “kutub perlawanan” terhadap kelompok ekonomi G7 yang beranggotakan Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Jerman, Prancis, Italia, dan Jepang.

Tapi, kelompok yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan ini pun menarik banyak minat dari negara-negara lain. Menurut laporan Straits Times, setidaknya 40 negara telah menyatakan minat untuk bergabung. Sebanyak 23 negara di antaranya telah secara resmi mengajukan permohonan untuk menjadi anggota BRICS.

Sekitar 50 pemimpin lainnya akan menghadiri program rekan BRICS selama KTT yang akan diadakan di pusat konvensi di jantung Sandton, Johannesburg. Kehadiran negara-negara undangan ini tidak lepas dari agenda yang akan dibahas, yaitu kemungkinan ekspansi atau merangkul lebih banyak negara untuk menjadi anggota.

Cina, Brasil, dan Afrika Selatan telah secara terbuka mendukung gagasan perluasan BRICS. Duta Besar Afrika Selatan untuk Asia dan BRICS Anil Sooklal mengatakan pada pekan lalu, salah satu alasan negara berbaris untuk bergabung karena dunia yang sangat terpolarisasi. "Di mana kita hidup, yang telah dipolarisasi lebih lanjut oleh krisis Rusia-Ukraina, dan di mana negara-negara dipaksa untuk memihak," ujarnya.

“Negara-negara di Selatan tidak mau diberitahu siapa yang harus didukung, bagaimana bersikap dan bagaimana menjalankan urusan kedaulatannya. Mereka cukup kuat sekarang untuk menegaskan posisi masing-masing,” kata Sooklal.

Sooklal menyatakan, keputusan untuk memperluas keanggotaan Brics diharapkan pada akhir KTT. Dia menjelaskan, BRICS telah membangkitkan harapan bagi negara-negara yang ingin merestrukturisasi arsitektur global. "Pasar utama sekarang ada di Global South... tetapi kami masih terpinggirkan dalam hal pengambilan keputusan global," katanya.

Dosen politik internasional di University of Limpopo Lebogang Legodi setuju bahwa banyak negara yang ingin bergabung dengan kelompok tersebut. Mereka yang tertarik melihat aliansi itu sebagai alternatif dari hegemoni saat ini dalam urusan dunia.

Pertemuan tahun ini bertema "BRICS and Africa: Partnership for mutually accelerated growth, sustainable development and inclusive multilateralism." Tema tersebut, menurut Steven Gruzd dari proyek Afrika-Rusia Afrika di Institut Urusan Internasional Afrika Selatan (SAIIA), muncul pada titik putaran kritis.

“Sistem multilateral saat ini berada di bawah tekanan,” kata Gruzd.

Para ahli yang mengamati BRICS dengan cermat tidak terlalu optimis tentang hasil pertemuan puncak tersebut. “Saya kira KTT ini tidak akan menghasilkan hasil yang dramatis karena kekuatan masih ada di negara-negara Barat. Cina bangkit, tetapi belum menjadi kekuatan dominan,” kata Gruzd.

Diluncurkan secara resmi pada 2009, BRICS sekarang menyumbang 23 persen dari PDB global dan 42 persen dari populasi dunia. Blok gabungan ini pun mewakili lebih dari 16 persen perdagangan dunia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement