Senin 21 Aug 2023 09:33 WIB

Akhiri Dominasi Dolar AS tanpa Alternatif

Banyak negara kini muak dengan dominasi AS dalam sistem keuangan global.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nidia Zuraya
 Pekerja sedang menghitung mata uang dolar di money change. ilustrasi
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Pekerja sedang menghitung mata uang dolar di money change. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, ABUJA -- Bisnis telah lenyap di toko pakaian Kingsley Odafe di ibu kota Nigeria, memaksanya memberhentikan tiga karyawan. Salah satu penyebab masalahnya adalah kekuatan dolar Amerika Serikat (AS) terhadap mata uang Nigeria, naira.

Kondisi itu telah mendorong harga garmen dan barang asing lainnya di luar jangkauan konsumen lokal Nigeria. Sekantong pakaian impor harganya tiga kali lipat dari harga dua tahun lalu. Harga hari ini berkisar 350 ribu naira atau 450 dolar AS.

Baca Juga

“Tidak ada penjualan lagi karena orang harus makan dulu sebelum berpikir untuk membeli baju,” kata Odafe.

Dunia terus berkembang, banyak negara kini muak dengan dominasi AS dalam sistem keuangan global, terutama kekuatan dolar. Mereka akan menyampaikan keluhan ini saat kelompok BRICS bertemu dengan negara-negara pasar berkembang lainnya di Johannesburg, Afrika Selatan, dari 22-24 Agustus 2023.

Tapi mengeluh tentang kekuatan dolar AS lebih mudah daripada benar-benar menggulingkan mata uang dunia de facto itu. Dolar sejauh ini merupakan mata uang yang paling banyak digunakan dalam bisnis global dan telah mengabaikan tantangan di masa lalu untuk keunggulannya.

Meskipun berulang kali berbicara tentang negara-negara BRICS yang meluncurkan mata uang sendiri, tidak ada proposal konkret yang muncul menjelang pertemuan puncak yang mulai pada Selasa (22/8/2023). Namun, Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan telah membahas perluasan perdagangan dalam mata uang sendiri untuk mengurangi ketergantungan pada dolar.

Pada pertemuan para menteri luar negeri BRICS pada Juni, Naledi Pandor dari Afrika Selatan mengatakan, Bank Pembangunan Baru dari blok tersebut akan mencari alternatif untuk mata uang yang diperdagangkan secara internasional saat ini. Pernyataan itu sebuah eufemisme untuk dolar.

Pandor duduk bersama Sergey Lavrov dari Rusia dan Ma Zhaoxu dari Cina. Kedua menteri luar negeri itu merupakan perwakilan dari dua negara yang sangat ingin melemahkan pengaruh keuangan internasional AS.

Pengelompokan BRICS dimulai pada tahun 2009. Awalnya, itu hanya BRIC, istilah yang diciptakan oleh ekonom Goldman Sachs Jim O'Neill untuk merujuk pada peningkatan ekonomi Brasil, Rusia, India, dan Cina.

Afrika Selatan kemudian bergabung pada 2010, menambahkan "S" pada namanya. Lebih dari 20 negara, termasuk Arab Saudi, Iran dan Venezuela telah menyatakan minatnya untuk bergabung dengan kelompok tersebut.

Pada 2015, negara-negara BRICS meluncurkan Bank Pembangunan Baru. Bank ini merupakan sebuah alternatif dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia yang didominasi AS dan Eropa.

“Negara-negara berkembang sangat ingin melonggarkan cengkraman dominasi Barat dan membuka pintu bagi tatanan dunia baru," kata aktivis politik Uganda Martin Ssempa.

Ssempa merupakan pihak yang membela undang-undang yang memberik hukuman mati untuk beberapa tindakan homoseksual. Aturan tersebut mendorong Bank Dunia pada bulan ini menghentikan pinjaman baru ke negara Afrika Timur itu.

Kritikus di negara berkembang sangat tidak nyaman dengan kesediaan AS untuk menggunakan pengaruh global dolar untuk menjatuhkan sanksi keuangan terhadap musuh, seperti yang terjadi pada Rusia setelah invasi Ukraina tahun lalu. Mereka juga mengeluh bahwa fluktuasi dolar dapat membuat ekonomi tidak stabil.

Contoh saja saat dolar yang naik dapat menyebabkan kekacauan di luar negeri dengan menarik investasi dari negara lain. Ini juga meningkatkan biaya pembayaran pinjaman dalam mata uang dolar dan membeli produk impor yang seringkali dihargai dalam dolar.

Presiden Kenya William Ruto menggerutu tahun ini tentang ketergantungan Afrika pada dolar dan kejatuhan ekonomi dari naik turunnya, sementara nilai shilling Kenya anjlok. Dia mendesak para pemimpin Afrika untuk bergabung dengan sistem pembayaran pan-Afrika yang masih baru, menggunakan mata uang lokal untuk mendorong lebih banyak perdagangan.

“Bagaimana dolar AS menjadi bagian dari perdagangan antara Djibouti dan Kenya? Mengapa?" ujar Ruto bertanya pada sebuah pertemuan.

Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva telah mendukung mata uang bersama untuk perdagangan di dalam blok Amerika Selatan Mercosur dan untuk perdagangan di antara negara-negara BRICS. “Mengapa Brasil membutuhkan dolar untuk berdagang dengan Cina atau Argentina? Kami dapat memperdagangkan mata uang kami,” katanya pada bulan ini.

Tapi jika kelemahan dolar mudah terlihat, alternatifnya justru tidak. “Pada akhirnya, jika Anda ingin menjaga cadangan Anda tetap aman, Anda harus memasukkannya ke dalam dolar,” kata peneliti senior di University of Pretoria Daniel Bradlow.

"Anda harus meminjam dalam dolar. Semua orang bisa melihat semua masalah dengan melakukan ini, tapi jika ada alternatif, orang akan menggunakannya," ujar pengacara yang berspesialisasi dalam keuangan internasional.

Saat ini, menurut perhitungan para peneliti Federal Reserve AS, 96 persen perdagangan di Amerika dari 1999 hingga 2019 ditagih dalam dolar. Sedangkan sebanyak 74 persen perdagangan di Asia dan 79 persen di tempat lain, di luar Eropa, yang memiliki euro juga tetap menggunakan dolar AS.

Tapi, cengkeraman dolar pada perdagangan global telah agak melonggar dalam beberapa tahun terakhir. Bank, bisnis, dan investor telah beralih ke euro dan yuan Cina.

Selama 24 tahun setelah euro diperkenalkan, mata uang nomor dua di dunia masih tidak menyaingi dolar untuk gravitas internasional. Ekonom Harvard University Jeffrey Frankel mengatakan dalam sebuah studi terakhir bulan, dolar digunakan dalam transaksi valuta asing tiga kali lebih banyak daripada euro.

Sedangkan yuan dibatasi oleh penolakan Beijing untuk membiarkan mata uang diperdagangkan secara bebas di pasar dunia. “Tidak ada alternatif untuk dolar yang berhasil mencapai tingkat dominasi,” kata rekan senior di Tufts University Fletcher School Mihaela Papa.

"Jadi gagasan bahwa sekarang, dalam semalam, Anda akan memiliki mata uang BRICS baru yang akan (menyebabkan) pergolakan besar, butuh waktu, butuh kepercayaan ... Saya melihat jalan ini sangat panjang," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement