REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Jepang pada Selasa (29/8/2023) mengancam akan membawa Cina ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk mengupayakan pembatalan larangan Beijing terhadap semua impor makanan laut setelah pelepasan limbah radioaktif PLTN Fukushima.
Menteri Luar Negeri Jepang Yoshimasa Hayashi mengatakan, Jepang akan mengambil "tindakan yang diperlukan (atas larangan produk akuatik yang diberlakukan Cina) di bawah berbagai jalur termasuk kerangka kerja WTO".
"Jepang mengajukan keluhan ke WTO, agar organisasi perdagangan internasional ini dapat menjadi pilihan jika protes ke Cina melalui jalur diplomatik tidak efektif," kata Menteri Keamanan Ekonomi Sanae Takaichi secara terpisah.
Komentar tersebut muncul ketika bisnis dan fasilitas publik Jepang terus menerima teror telepon yang mengganggu dari Cina +86. Badan Kebijakan Nasional Jepang telah menerima 225 laporan panggilan pelecehan hingga saat ini, demikian dilaporkan berita Jiji. Sementara, Pemerintah Jepang mengatakan bahwa mereka mencari bantuan dari perusahaan telekomunikasi untuk memblokir panggilan tersebut.
Semakin banyak pengguna telepon rumah yang meminta untuk memblokir nomor-nomor asing, kata seorang juru bicara di NTT Communications, unit Nippon Telegraph and Telephone. NTT dan perusahaan telepon lainnya termasuk KDDI dan SoftBank Corp sedang mendiskusikan langkah-langkah untuk memenuhi permintaan pemerintah terkait pemblokiran tersebut.
"Sangat disesalkan dan memprihatinkan mengenai banyaknya telepon pelecehan yang kemungkinan besar berasal dari Cina," kata Menteri Perdagangan Yasutoshi Nishimura dalam sebuah konferensi pers.
Menurut masyarakat Fukushima, kata dia, beberapa panggilan acak yang mengganggu itu bahkan sampai ke rumah sakit. "Nyawa manusia sedang dipertaruhkan sekarang. Tolong hentikan panggilan telepon dengan segera," ujar Nishimura.
Menteri tersebut mengatakan, pemerintah sedang mengumpulkan informasi mengenai laporan-laporan mengenai gerakan-gerakan untuk memboikot produk-produk Jepang di Cina. Dan pihaknya akan bekerja sama dengan para pemimpin bisnis untuk menangani situasi tersebut.