Kamis 31 Aug 2023 06:29 WIB

Rakyat Gabon Dukung Kudeta Militer

Presiden Ali Bongo yang telah berkuasa sejak 2009 digulingkan oleh militer.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nidia Zuraya
Militer Gabon melakukan kudeta pada Rabu (30/8/2023) dan membatalkan hasil pemilihan presiden. Militer berupaya menyingkirkan presiden yang telah memegang kekuasaan selama 55 tahun.
Foto: AP
Militer Gabon melakukan kudeta pada Rabu (30/8/2023) dan membatalkan hasil pemilihan presiden. Militer berupaya menyingkirkan presiden yang telah memegang kekuasaan selama 55 tahun.

REPUBLIKA.CO.ID, LIBREVILLE -- Militer telah merebut kekuasaan di Gabon pada Rabu (30/8/2023). Militer telah menempatkan Presiden Ali Bongo dalam tahanan rumah, beberapa jam setelah ia dinyatakan sebagai pemenang dalam pemilu.

Dalam sebuah video yang beredar luas di media sosial, Presiden Bongo meminta tolong kepada masyarakat dan dunia internasional untuk bertindak atas kudeta ini. Namun massa yang turun ke jalan ibu kota malah merayakan upaya kudeta terhadap dinasti politik keluarga Bongo yang dituduh kaya raya atas kekayaan sumber daya negara sementara banyak warganya yang miskin.

Baca Juga

“Terima kasih, tentara.  Akhirnya, kami telah menunggu lama untuk momen ini,” kata seorang warga, Yollande Okomo, yang berdiri di dekat pasukan elit Gabon, salah satu unit yang melancarkan kudeta.

Suasana relatif tenang hingga Rabu dini hari, ketika Bongo dinyatakan sebagai pemenang pemilu. Beberapa menit kemudian, suara tembakan terdengar di pusat Ibu Kota, Libreville. Kemudian puluhan tentara berseragam muncul di televisi pemerintah dan mengumumkan bahwa mereka telah merebut kekuasaan. Tak lama kemudian, massa turun ke jalan.  Seorang penjaga toko, Viviane Mbou menawarkan jus kepada tentara tersebut.

“Hidup tentara kami,” kata Jordy Dikaba, seorang pemuda yang berjalan bersama teman-temannya di jalan yang dipenuhi polisi lapis baja.

Bongo (64 tahun) telah menjabat dua periode sejak berkuasa pada 2009. Dia berkuasa setelah kematian ayahnya, yang memerintah Gabon selama 41 tahun. Sekelompok tentara pemberontak mencoba melakukan kudeta pada 2019 tetapi gagal.

Gabon merupakan negara bekas jajahan Perancis. Gabon adalah anggota OPEC, namun kekayaan minyaknya terkonsentrasi di tangan segelintir orang saja. Hampir 40 persen penduduk Gabon berusia 15 hingga 24 tahun kehilangan pekerjaan pada 2020. Sementara itu, beberapa anggota keluarga Bongo sedang diselidiki di Prancis. Beberapa di antaranya menghadapi tuduhan awal atas penggelapan, pencucian uang, dan bentuk korupsi lainnya.

Seorang juru bicara tentara mengatakan, pemerintahan Bongo yang tidak bertanggung jawab berisiko membawa negara tersebut ke dalam kekacauan.  Dalam pernyataan selanjutnya, para pemimpin kudeta mengatakan, orang-orang di sekitar presiden telah ditangkap karena pengkhianatan besar-besaran terhadap lembaga-lembaga negara, penggelapan dana publik secara besar-besaran, dan penggelapan keuangan internasional.

Beberapa analis memperingatkan, kudeta berisiko menimbulkan ketidakstabilan, dan perpecahan di kalangan elit penguasa. Upaya kudeta ini terjadi sekitar satu bulan setelah tentara yang memberontak di Niger merebut kekuasaan dari pemerintah yang dipilih secara demokratis. Ini merupakan kudeta terbaru dari serangkaian kudeta lainnya di Afrika Barat dan Tengah dalam beberapa tahun terakhir.   

"Impunitas yang dinikmati para pemberontak mungkin telah menginspirasi tentara di Gabon," kata Maja Bovcon, analis senior di Verisk Maplecroft, sebuah perusahaan penilaian risiko.

Dalam pemilu akhir pekan lalu, Bongo berhadapan dengan koalisi oposisi yang dipimpin oleh Albert Ondo Ossa, seorang profesor ekonomi dan mantan menteri pendidikan. Setiap pemilu yang diadakan di Gabon, sejak kembalinya negara tersebut ke sistem multipartai pada 1990, berakhir dengan kekerasan.

Para pemimpin kudeta mengatakan, presiden berada dalam tahanan rumah, dikelilingi oleh keluarga dan dokter. Seorang pria yang menjawab telepon di bandara mengatakan, penerbangan pada Rabu dibatalkan.

Sementara  firma intelijen swasta, Ambrey mengatakan semua operasi di pelabuhan utama negara itu telah dihentikan, dan pihak berwenang menolak memberikan izin bagi kapal untuk berangkat.  Beberapa perusahaan Prancis mengatakan, mereka menghentikan operasinya dan bergerak untuk memastikan keselamatan staf mereka.

“Prancis mengutuk kudeta militer yang sedang berlangsung di Gabon dan memantau dengan cermat perkembangan di negara tersebut,” kata juru bicara pemerintah Prancis, Olivier Veran, pada Rabu.

Perancis telah memelihara hubungan ekonomi, diplomatik dan militer yang erat dengan Gabon, dan menempatkan 400 tentara di negara tersebut untuk memimpin operasi pelatihan militer regional. Komando Amerika di Afrika mengatakan, tidak ada pasukan yang ditempatkan di Gabon selain di Kedutaan Besar Amerika.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement