REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Selama setahun terakhir Korea Utara telah meningkatkan pertahaman angkatan lautnya dengan senjata nuklir baru, termasuk drone bawah air, kapal perang, dan kapal selam rudal operasional pertamanya, yang diluncurkan pada Jumat (8/9/2023). Angkatan laut Korea Utara secara historis masih kalah dibandingkan angkatan darat negara tersebut, dan dibayangi oleh kemajuan pesat program rudal balistik.
Kini, Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un mengatakan, angkatan laut akan memainkan peran penting dalam pencegahan nuklir negaranya. Para analis mengatakan, hal ini dapat menjamin dukungan di antara para komandan angkatan laut dan meningkatkan kebanggaan program nasional.
“Fokus ulang baru-baru ini pada kemampuan nuklir angkatan laut kemungkinan besar disambut baik oleh Angkatan Laut Rakyat Korea," ujar Ankit Panda dari Carnegie Endowment for International Peace yang berbasis di Amerika Serikat (AS).
Menurut Buku Putih Pertahanan militer Korea Selatan pada 2022. Angkatan Laut Tentara Rakyat Korea (KPANF) memiliki sekitar 470 kapal permukaan, termasuk kapal berpeluru kendali, kapal torpedo, kapal patroli kecil, dan kapal pendukung tembakan.
Negara ini memiliki sekitar 70 kapal selam, termasuk kapal kelas Romeo desain era Soviet, dan kapal selam cebol. Angkatan Laut juga memiliki sekitar 40 kapal pendukung dan 250 kapal pendarat.
Angkatan Laut dibagi menjadi dua komando armada yang mencakup pantai timur dan barat Korea Utara, dan sekitar 60 persen pasukan ditempatkan di selatan Pyongyang.
“Angkatan Laut Korea Utara memiliki kapasitas untuk melakukan serangan mendadak kapan saja. Namun, kapasitasnya untuk operasi laut dalam terbatas karena kekuatan utamanya terdiri dari kapal-kapal kecil berkecepatan tinggi," ujar Buku Putih Pertahanan militer Korea Utara.
Pada Maret dan April, Korea Utara menguji senjata serangan bawah air tak berawak berkemampuan nuklir. Senjata itu dijuluki "Haeil", atau tsunami. Sistem drone baru ini dimaksudkan untuk melakukan serangan diam-diam di perairan musuh dan menghancurkan kelompok penyerang angkatan laut dan pelabuhan operasional utama dengan ledakan bawah air.
Para analis mengatakan, konsep operasional senjata ini mirip dengan torpedo nuklir Poseidon milik Rusia, sebuah kategori senjata pembalasan baru yang dimaksudkan untuk menciptakan ledakan radioaktif yang merusak di wilayah pesisir. Namun, laporan 38 North yang berbasis di Washington pada saat itu mengatakan, kecepatan senjata yang lambat dan jangkauan terbatas membuatnya jauh lebih rendah dibandingkan rudal balistik dan rudal jelajah bersenjata nuklir milik Korea Utara.
Terutama dalam hal ketepatan sasaran, akurasi dan tingkat kematian. Pada Agustus, Kim memeriksa korvet kelas Amnok baru yaitu sebuah kapal patroli yang mampu menembakkan rudal jelajah bersenjata nuklir.
“Meskipun faktanya sebagian besar senjata dan sensor di kapal sudah sangat ketinggalan zaman jika dibandingkan dengan rancangan negara-negara barat atau Asia, ini adalah langkah maju yang besar bagi Korea Utara,” kata situs spesialis Naval News dalam sebuah analisis.
Pada Jumat (8/9/2023) Korea Utara telah meluncurkan kapal selam serangan nuklir taktis operasional pertamanya dan menugaskannya ke armada timur. Kapal tersebut tampaknya merupakan kapal selam kelas Romeo yang dimodifikasi dengan 10 tabung peluncuran, dan kemungkinan besar dipersenjatai dengan rudal balistik dan rudal jelajah.
Para pejabat Korea Selatan menyatakan, kapal selam baru itu mungkin tidak berfungsi sepenuhnya. Namun para pejabat itu tidak menjelaskan lebih lanjut. Para analis mengatakan, seperti drone nuklir, penggunaan kapal selam baru dalam perang mungkin Terbatas, dibandingkan dengan rudal darat Korea Utara yang lebih kuat.
“Kapal selam mereka tidak akan mampu bertahan seperti pasukan darat mereka. Dan mereka akan kesulitan mengerahkan cukup banyak rudal di laut untuk membuat perbedaan besar," kata Vann Van Diepen, mantan ahli senjata pemerintah AS yang bekerja dengan 38 North.