Senin 11 Sep 2023 17:08 WIB

Muslim Masih Hadapi Diskriminasi Meski Serangan 9/11 Sudah 22 Tahun Berlalu

Setelah 22 tahun, Islamofobia telah mengakar dan jadi bagian dari rasisme di AS.

Rep: Amri Amrullah / Red: Esthi Maharani
Bangunan mencerminkan peringatan di The National September 11 Memorial, Selasa, 2 Agustus 2022, di New York. Presiden Joe Biden hari Senin mengumumkan bahwa pemimpin al-Qaida Ayman al-Zawahri, yang membantu merencanakan serangan 9/11, tewas dalam serangan pesawat tak berawak AS di Kabul.
Foto: AP/Julia Nikhinson
Bangunan mencerminkan peringatan di The National September 11 Memorial, Selasa, 2 Agustus 2022, di New York. Presiden Joe Biden hari Senin mengumumkan bahwa pemimpin al-Qaida Ayman al-Zawahri, yang membantu merencanakan serangan 9/11, tewas dalam serangan pesawat tak berawak AS di Kabul.

REPUBLIKA.CO.ID, HOUSTON --- Lebih dari dua dekade serangan 11 September 2001 di New York, AS, berlalu, tapi diskriminasi dan kebencian terhadap Muslim di Amerika Serikat masih terjadi. Hal ini membuat kelompok advokasi hak-hak sipil Muslim terbesar di Amerika Serikat geram.

"Setelah 22 tahun, sayangnya, Islamofobia telah mengakar dan menjadi bagian dari struktur rasisme yang ada di beberapa bagian negara kita," ujar Hussam Ayloush, kepala eksekutif Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR-CA) cabang California.

Baca Juga

Ayloush mengatakan kepada Anadolu bahwa hampir satu juta dari sekitar lima juta Muslim yang tinggal di AS alami diskriminasi dan kebencian. Seperti di Negara Bagian California, yang menunjukkan bahwa pelecehan dan prasangka terhadap komunitas Muslim masih sering terjadi beberapa dekade setelah peristiwa 9/11.

"Lebih dari 50 persen siswa Muslim di California menghadapi beberapa bentuk intimidasi verbal dan fisik di sekolah umum hanya karena menjadi Muslim," kata Ayloush.

"Selain itu, masih ada daftar orang dalam pantauan pemerintah. Hampir 1,6 juta orang diawasi dan mayoritas dari mereka adalah Muslim. Nama mereka ada dalam daftar pantauan perjalanan atau memiliki nama yang terdengar seperti nama Muslim."

"Jenis-jenis pelanggaran yang muncul setelah peristiwa 9/11 yang dilakukan oleh pemerintah menjadi bagian dari  Islamofobia yang terus berkembang," lanjutnya.

Akibat yang dirasakan oleh muslim AS, mereka dilecehkan di bandara, membuat FBI melakukan penggeledahan serta menempatkan informan di masjid-masjid. Bahkan memberikan lampu hijau kepada agen-agen federal, seperti FBI dan CIA, untuk melacak Muslim dari negara lain, seperti Suriah, Libya, dan Sudan.

Kejahatan kebencian terhadap Muslim meroket segera setelah serangan 9/11, meningkat 1.617 persen dari tahun 2000 hingga 2001, menurut statistik dari FBI. Lonjakan yang parah itu menandai beberapa jumlah kejahatan kebencian tertinggi terhadap komunitas Muslim dalam sejarah AS.

"Pemerintah AS di bawah pemerintahan George W Bush membutuhkan musuh yang memungkinkan kaum konservatif baru untuk melancarkan kampanye mereka dan peristiwa 9/11 menjadi dalih yang sempurna untuk menjadikan Muslim sebagai musuh," jelas Ayloush.

Ia seraya menambahkan bahwa setiap stereotipe tentang komunitas Muslim digunakan untuk melecehkan, menganiaya, dan menahan siapa pun yang sesuai dengan stereotipe tersebut. "Cara kami makan, cara kami berpakaian, cara kami berbicara menjadi hal yang dicurigai," katanya.

"Jika mereka menyewa truk untuk memindahkan perabotan mereka, FBI akan memanggil mereka. Jika seorang Muslim terlalu sering bepergian ke luar negeri atau menarik banyak uang tunai untuk bisnis mereka, mereka dianggap melakukan sesuatu yang salah dan FBI akan dipanggil untuk menyelidikinya.."

Maka peristiwa 9/11 menciptakan momentum untuk membangun dan mengubah kefanatikan dan xenofobia di Amerika untuk membenarkan diskriminasi terhadap Muslim. "Hal ini memungkinkan mereka untuk mengatakan 'Saya tidak membenci semua Muslim, hanya orang-orang yang melakukan x, y atau z,' hanya untuk membenarkan kebencian mereka," kata Ayloush.

Muslim memperjuangkan hak-haknya....

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement