REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Setelah 22 tahun tragedi 11 September 2001, fenomena Islamofobia di AS selalu menguat terutama jelang pemilihan Presiden AS seperti saat ini. Hal itu disampaikan oleh Louise Cainkar, seorang profesor sosiologi di Universitas Marquette di Milwaukee, Wisconsin, yang mengkhususkan diri dalam Studi Arab dan Muslim Amerika.
"Penelitian telah menunjukkan bahwa hal ini meningkat tidak hanya dalam kaitannya dengan peristiwa-peristiwa di dunia nyata, namun juga pada saat pemilihan umum di Amerika. Jadi saya memperkirakan bahwa jika Muslim kembali menjadi target retorika kampanye tahun ini, (kita) akan melihat peningkatan," lanjut Cainkar, merujuk pada mantan Presiden Donald Trump, yang saat ini berkampanye untuk pencalonan presiden dari Partai Republik tahun 2024.
"Sejauh ini, saya tahu Trump mengatakan bahwa ia akan memperluas 'larangan', tetapi ia tidak menggunakan kata 'Muslim' dalam kutipan yang saya lihat. Tapi orang-orang tahu apa artinya," ujarnya.
Ia merujuk pada pembatasan pemerintahan Trump yang melarang hampir semua pelancong dari lima negara berpenduduk mayoritas Muslim - Suriah, Iran, Yaman, Libya, Somalia - untuk masuk ke Amerika Serikat. Chad, Korea Utara dan Venezuela kemudian ditambahkan.
Sementara itu, Hussam Ayloush, kepala eksekutif Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR-CA) cabang California setuju dengan pendapat tersebut. Bahwa korelasi antara peristiwa 9/11 dan Islamofobia berubah menjadi bentuk diskriminasi yang jauh lebih dalam selama kampanye kepresidenan Trump pada tahun 2016 dan setelah ia terpilih menjadi presiden.
"Ketika Trump muncul, dia menghidupkan kembali dan mempopulerkan sikap rasis di Amerika dengan basisnya yang menganut keyakinan bahwa 'Saya bukan satu-satunya yang berpikir seperti itu' dan memaafkan rasisme terhadap orang Meksiko, kulit hitam, Asia, Yahudi dan Muslim.
Islamofobia lebih ganas dan lebih kuat daripada yang setelah peristiwa 9/11....