Kamis 14 Sep 2023 08:01 WIB

30 Tahun Perjanjian Oslo, Prospek Perdamaian Israel-Palestina Masih Suram

Menurut PBB sekitar 700 ribu pemukim Yahudi menetap di Tepi Barat dan Yerusalem Timur

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nidia Zuraya
Sebuah bom yang dilemparkan oleh warga Palestina meledak di samping kendaraan tentara Israel saat serangan militer di kamp pengungsi Jenin, kubu militan, di Tepi Barat yang diduduki, Selasa, (4/7/2023).
Foto:

Serangan yang hampir terjadi setiap hari oleh pasukan Israel telah menewaskan ratusan anggota kelompok Palestina dan sejumlah warga sipil. Sementara sejumlah kelompok militan baru bermunculan di kota-kota seperti Jenin dan Nablus yang tidak memiliki hubungan dengan generasi tua para pemimpin Palestina.

“Saya belum pernah melihat Tepi Barat seperti saat ini, saya telah masuk dan keluar dari sini selama hampir 30 tahun dan saya belum pernah melihat hal yang lebih buruk,” kata Koordinator Khusus PBB Tor Wennesland pada konferensi minggu ini.

Struktur yang diciptakan oleh Perjanjian Oslo tetap menjadi kerangka utama hubungan antara Israel dan Palestina jika tidak ada yang lebih baik. Otoritas Palestina (PA) tetap menjadi mitra yang disukai Israel, meski sering kali tidak dipercaya, meskipun mereka kehilangan kendali atas Gaza ketika Hamas memisahkan diri pada  2007.

Tapi, karena bergantung pada dana asing, tanpa mandat pemilu dan tidak populer di kalangan rakyatnya sendiri, PA terjebak dalam peran-perannya sebagai perwakilan Palestina dan lawan bicara Israel. Begitu Presiden Palestina Mahmoud Abbas yang berusia 87 tahun lengser, akan ada kekosongan yang mungkin akan membawa krisis ke puncaknya.

Para pejabat Israel juga khawatir jika Abbas mengundurkan diri, maka pintu akan terbuka bagi dorongan Hamas ke Tepi Barat, tempat Hamas semakin aktif. Bisa juga kondisi anarki muncul ketika para pesaing kepemimpinan saling bertarung.

“Ini sangat lemah, sangat buruk tetapi perjanjian ini masih ada,” kata mantan pejabat badan militer Israel yang dibentuk setelah Oslo untuk berkoordinasi antara Israel dan PA (COGAT) Michael Milshtein.

Penandatanganan perjanjian Oslo sebenarnya menimbulkan optimisme dalam waktu singkat. Momen itu dilambangkan dengan gambar pemimpin Palestina Yasser Arafat dan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin, diawasi oleh Presiden AS Bill Clinton, berjabat tangan di halaman Gedung Putih. Rabin dibunuh oleh seorang sayap kanan Israel pada 1995, sementara Arafat meninggal pada 2004.

Bagi mantan menteri kehakiman dan negosiator Israel Yossi Beilin kegagalan perjanjian tersebut terjadi karena pemerintahan Israel berturut-turut lebih memilih untuk mengubah gencatan senjata yang awalnya bersifat sementara menjadi status quo permanen. Terlebih lagi masyarakat Israel terpecah oleh perselisihan mengenai upaya Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk mengekang kekuasaan Mahkamah Agung, prospek upaya perdamaian tampaknya semakin kecil.

“Pemerintahan Israel saat ini tidak menunjukkan tanda-tanda kesediaan untuk mencapai perjanjian permanen. Jadi, mereka yang berbicara tentang perjanjian permanen harus berbicara tentang pemerintahan di masa depan,” kata mantan politisi Partai Buruh itu.

Warga Palestina dan sejumlah organisasi hak asasi manusia internasional sudah menuduh Israel mengoperasikan sistem apartheid di Tepi Barat. Israel dan sekutu-sekutunya termasuk Amerika Serikat menolak tuduhan tersebut.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement