Selasa 19 Sep 2023 06:07 WIB

Armenia Bahas Rencana Akui Yurisdiksi Mahkamah Kriminal Internasional dengan Rusia

Hubungan Armenia dan Rusia telah memburuk sejak invasi ke Ukraina

Rep: Dwina Agustin/ Red: Esthi Maharani
Presiden Rusia Vladimir Putin, kiri, dan Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan berfoto sebelum pertemuan mereka di kediaman Bocharov Ruchei di resor Laut Hitam Sochi, Rusia, Senin, 31 Oktober 2022.
Foto: AP/Sergei Bobylev/Pool Sputnik Kremlin
Presiden Rusia Vladimir Putin, kiri, dan Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan berfoto sebelum pertemuan mereka di kediaman Bocharov Ruchei di resor Laut Hitam Sochi, Rusia, Senin, 31 Oktober 2022.

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Armenia berdiskusi dengan Rusia mengenai rencana mengakui yurisdiksi Pengadilan Kriminal Internasional. Langkah itu telah ditentang keras oleh Moskow setelah pengadilan mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Presiden Vladimir Putin.

Kantor berita resmi pemerintah Rusia TASS melaporkan, Duta Besar Kementerian Luar Negeri Armenia Edmon Marukyan mengatakan, Armenia telah mengirimkan proposal mengenai masalah tersebut ke Rusia. “Pertemuan telah diadakan dan prosesnya sedang berlangsung,” katanya mengutip pernyataan tersebut.

Baca Juga

Hubungan antara sekutu tradisional tersebut telah memburuk sejak Putin melancarkan invasi ke negara tetangga Ukraina pada Februari 2022. Yerevan mengatakan, pihaknya akan berada di bawah yurisdiksi pengadilan tersebut, sehingga mendorong Moskow untuk memperingatkan konsekuensi serius jika melakukan hal tersebut.

Pengadilan di Den Haag pada Maret menuduh Putin melakukan kejahatan perang dengan mendeportasi secara ilegal ratusan atau lebih anak-anak dari Ukraina. Klaim ini pun dibantah oleh Istana Kremlin sebagai tidak berarti dan sangat partisan.

Surat perintah tersebut mewajibkan 123 negara anggota Pengadilan Kriminal Internasional untuk menahan dan memindahkan Putin jika dia menginjakkan kaki di wilayahnya, termasuk Armenia. Hubungan bilateral semakin memburuk dalam beberapa bulan terakhir karena Yerevan melihat kegagalan Moskow untuk sepenuhnya menjunjung tinggi perjanjian gencatan senjata 2020.

Perjanjian yang ditengahi Rusia ini memuat gencatan senjata antara Armenia dan Azerbaijan untuk mengakhiri perang atas Nagorno-Karabakh. Wilayah Azerbaijan ini memiliki mayoritas penduduk beretnis Armenia.

Marukyan mengatakan, rencana Armenia untuk menjadi pihak Statuta Roma dan menempatkannya di bawah wewenang pengadilan internasional. "Bukan melawan Federasi Rusia tetapi karena kejahatan perang yang dilakukan di wilayah Republik Armenia oleh pihak Azerbaijan," ujar laporan TASS.

“Mitra kami dari Rusia sangat menyadari hal ini," ujarnya.

Armenia dalam beberapa pekan terakhir berulang kali menuduh Azerbaijan mengerahkan pasukan di sekitar Karabakh. Wilayah itu secara efektif diblokade oleh Baku sejak Desember 2022, sehingga menyebabkan kelaparan akut. Kesepakatan yang dicapai akhir pekan lalu untuk membuka blokir jalan menuju wilayah tersebut belum berdampak sepenuhnya.

Meskipun demikian, Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan mengatakan pada Ahad (17/9/2023), bahwa perjanjian perdamaian dengan Azerbaijan mungkin terjadi pada akhir tahun ini. Menurut TASS, Yerevan melakukan segalanya untuk mewujudkannya. Dwina Agustin/reuters

 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement