Selasa 19 Sep 2023 22:27 WIB

Dilanda Kebakaran Lahan, Australia Siaga Musim Kering Ekstrem

Rekor panas dipecahkan di daerah padat penduduk di sekitar Sydney.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Nidia Zuraya
Kebakaran lahan. (ilustrasi)
Foto: PT Multi Kusuma Cemerlang (MKC)
Kebakaran lahan. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Empat tahun sejak kebakaran hutan menghancurkan sebagian besar wilayah tenggara Australia dan menewaskan 33 orang, kini negara ini sekali lagi dalam keadaan siaga tinggi. Australia bersiap-siap menghadapi apa yang menurut para ahli cuaca akan menjadi periode terpanas dan terkering sejak apa yang disebut Musim Panas Hitam.

Menjelang musim semi Australia, yang dimulai pada bulan September, rekor panas dipecahkan di daerah padat penduduk di sekitar Sydney. Di mana di wilayah itu, beberapa sekolah regional ditutup karena risiko kebakaran hutan sebulan sebelum musim kebakaran hutan resmi dimulai.

Baca Juga

Kondisi itu menambah ketegangan, hujan lebat yang tidak biasa sejak kebakaran tahun 2019 dan 2020 telah memacu pertumbuhan vegetasi. Itu menghasilkan lebih banyak dedaunan untuk dibakar dalam sistem cuaca El Nino, yang ditandai dengan cuaca panas dan kering, yang diumumkan pada hari Selasa (19/9/2023).

"Setelah kita benar-benar mengeringkan lanskap dari kondisi basah, bisa jadi kita akan mendapatkan lanskap yang sangat kering tetapi sekarang memiliki banyak bahan bakar karena pertumbuhan vegetasi yang sangat baik," kata Jason Evans, seorang profesor di Pusat Penelitian Perubahan Iklim di University of New South Wales.

"Itu adalah kondisi yang sempurna untuk kebakaran hutan," katanya. Warga Australia juga menyaksikan dengan muram saat kebakaran hutan melanda Eropa dan Amerika Utara pada musim panas tahun 2023. 

Sekarang ada perasaan bahwa kembali giliran Australia lagi, dengan pemanasan global yang semakin cepat dan memperbesar perubahan pola cuaca, menurut para ilmuwan iklim.

Dari 10 tahun terpanas yang tercatat di Australia, delapan di antaranya terjadi sejak tahun 2010, kata para ahli meteorologi.

Singkatnya waktu sejak musim kebakaran hutan yang dahsyat terakhir telah menyebabkan penundaan dalam pengurangan bahaya kebakaran. Di mana petugas pemadam kebakaran secara pre-emptive membakar area untuk membatasi penyebaran kebakaran hutan, karena beberapa petugas pemadam kebakaran sukarelawan berhenti karena trauma, kata Dinas Pemadam Kebakaran Pedesaan New South Wales.

Hujan lebat yang terus menerus juga telah memperlambat kemampuan dinas pemadam kebakaran untuk melakukan pengendalian kebakaran. Dengan puluhan kebakaran hutan yang telah terjadi, dinas sukarelawan tersebut mengatakan bahwa mereka baru melakukan 24 persen dari pengurangan bahaya yang direncanakan.

"Kami baru saja mengalami hujan demi hujan, jadi kami cukup tertinggal," ujar Komisaris Dinas Pemadam Kebakaran Pedesaan Bob Rogers kepada Reuters.

Hujan lebat juga berarti bahwa, meskipun musim panas telah kembali, kondisi awal kebakaran berbeda dengan kebakaran pada tahun 2019 dan 2020, yang terjadi setelah kemarau panjang, kata Rogers. KiMeskipun kaya akan bahan bakar, setidaknya tidak kering kerontang seperti pada Musim Panas Hitam.

Namun, lanjut dia, "pihaknya menanggapi itu dengan sangat serius," tambahnya. "Meskipun mungkin tidak seburuk itu, Anda tidak perlu musim kebakaran seburuk itu untuk menghancurkan rumah dan tentu saja merenggut nyawa. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement