Jumat 22 Sep 2023 05:15 WIB

Perempuan Dobrak Hal Tabu di Somalia

Somalia merupakan salah satu tempat paling berbahaya untuk perempuan jadi jurnalis

Rep: Dwina Agustin/ Red: Esthi Maharani
Somalia merupakan salah satu tempat paling berbahaya untuk seseorang menjadi reporter, terlebih lagi bagi perempuan.
Foto: IST
Somalia merupakan salah satu tempat paling berbahaya untuk seseorang menjadi reporter, terlebih lagi bagi perempuan.

REPUBLIKA.CO.ID, MOGADISHU -- Orang-orang sering tertawa ketika Fathi Mohamed Ahmed memberi tahu mereka bahwa dia mengelola newsroom pertama dan satu-satunya di Somalia yang dikelola seluruhnya oleh perempuan. Somalia merupakan salah satu tempat paling berbahaya untuk seseorang menjadi reporter, terlebih lagi bagi perempuan.

Tapi Bilan, kantor media tempat Ahmed bekerja sebagai pemimpin redaksi, jauh dari prediksi. Mereka setiap hari memproduksi campuran berita politik, ekonomi hingga feature mendalam untuk warga lokal, dan terkadang internasional.

Dalam hampir 18 bulan pengoperasian media yang memiliki arti "menyinari" ini telah mengatasi prasangka dan rasa tidak aman untuk menyoroti beberapa topik paling tabu di Somalia. Mereka menyinggung masalah epidemi narkoba pada perempuan, albinisme, perempuan yang hidup dengan HIV, dan rasa malu saat menstruasi.

“Terkadang jiwa saya berkata bahwa saya tidak dapat melanjutkan pekerjaan karena rasa tidak aman dan tekanan masyarakat. Namun, ini adalah karier yang saya cintai sejak kecil dan impian yang masih hidup dalam diri saya,” kata Ahmed.

Meskipun program ini didukung oleh Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), keberhasilannya tidak diraih dengan mudah atau tanpa risiko bagi Ahmed dan timnya. Dengan lebih dari 50 jurnalis terbunuh sejak 2010, menurut Reporters Without Borders, Somalia adalah negara paling berbahaya bagi jurnalis di Afrika. Komite Perlindungan Jurnalis menempatkan Somalia pada urutan terakhir dalam Indeks Impunitas Global yang mengukur jumlah pembunuhan jurnalis yang belum terpecahkan berdasarkan persentase populasi suatu negara.

Ahmad menyatakan, sebagai masyarakat yang sangat patriarkal, sebagian orang merasa sulit mendiskusikan isu-isu perempuan secara terbuka. Sedangkan yang lain mengeluh bahwa cerita Bilan mencemarkan reputasi negara.

“Kami tahu warga Somalia, bagi mereka masalah anak perempuan adalah hal yang memalukan. Misalnya tanda-tanda masa remaja seperti menstruasi, pms. Anak perempuan tidak diajarkan gejala kewanitaan di kelas," ujar Ahmad.

Cerita tentang stigma seputar menstruasi menjadi salah satu berita Bilan yang paling viral ketika disiarkan awal tahun ini. Artikel itu dilihat  lebih dari 130 ribu kali dan puluhan komentar di Facebook.

“Dulu saya merasa takut ketika ingin menceritakan masalah pribadi saya kepada guru. Saya gagal mengungkapkan masalah saya. Saya mengimbau siswa untuk tidak merasa malu dan takut," kata Maria Abdullahi Jama, siswi berusia 19 tahun di Bondhere School di Mogadishu.

Kisah ini mendorong Kementerian Perempuan Somalia untuk menawarkan kerja sama dalam kampanye advokasi, dan telah memenangkan dukungan setidaknya satu ulama Islam. “Adalah baik untuk memberikan kesadaran kepada para gadis tentang menstruasi dan bagaimana menjaga kebersihan sehingga mereka melihatnya sebagai sesuatu yang wajar yang dimiliki semua perempuan,” kata Syekh Abdi Hayi yang berdakwah di Masjid Omar Ibnu Khadab.

Direktur Biro Regional Program Pembangunan PBB untuk Negara-negara Arab Abdallah Al Dardari mengatakan, Bilan telah merevolusi agenda pemberitaan di Somalia. “Dengan suara unik mereka dan semakin luasnya jangkauan merek Bilan Media, mereka menciptakan tuntutan akan perubahan dan perlakuan yang lebih baik terhadap perempuan dan anak perempuan yang tidak dapat diabaikan,” kata Al Dardari.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement