REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Presiden Korea Selatan (Korsel) Yoon Suk Yeol mengatakan bila Rusia membantu Korea Utara (Korut) memperkuat program senjata sebagai balasan atas bantuan perang di Ukraina. Maka hal itu merupakan 'provokasi langsung' dan Seoul tidak akan tinggal diam.
Dalam pidatonya di Majelis Umum PBB, Yoon mengatakan skenario itu akan mengancam perdamaian dan keamanan tidak hanya bagi Ukraina tapi juga Korsel.
Pernyataan Yoon disampaikan setelah Pemimpin Korut Kim Jong Un pulang dari kunjungan kenegaraan ke Rusia. Dimana ia dan Presiden Rusia Vladimir Putin berjanji untuk meningkatkan kerja sama militer.
Program nuklir dan rudal Korut tidak akan ancaman nyat bagi Korsel. Tapi juga tantangan serius pada perdamaian di kawasan Indo-Pasifik dan seluruh dunia.
"Sungguh paradoks ketika anggota permanen Dewan Keamanan PBB, yang dipercayakan sebagai penjaga utama perdamaian dunia, akan berperang dengan menginvasi negara berdaulat lainnya dan menerima senjata serta amunisi dari rezim yang secara terang-terangan melanggar resolusi Dewan Keamanan PBB," kata Yoon, Rabu (20/9/2023).
Seoul dan Washington mengungkapkan keprihatinan Rusia mungkin mencoba memperoleh amunisi dari Korut untuk menambah persediaan amunisi yang menipis dalam perang di Ukraina. Sementara Pyongyang mencari bantuan teknologi untuk program nuklir dan rudalnya.
"Jika (Korea Utara) memperoleh informasi dan teknologi yang diperlukan untuk meningkatkan kemampuan WMD (senjata penghancur massal) sebagai imbalan mendukung Rusia dengan senjata konvensional, kesepakatan itu akan menjadi provokasi langsung, mengancam perdamaian dan keamanan tidak hanya di Ukraina, tetapi juga Republik Korea," kata Yoon.
"Republik Korea, bersama dengan sekutu dan mitranya tidak akan tinggal diam," tambahnya.
Resolusi Dewan Keamanan PBB melarang setiap kegiatan membantu program senjata Korut. Putin mengatakan Rusia, salah satu dari lima anggota tetap Dewan Keamanan, "tidak akan pernah melanggar apa pun."
Seorang staf presiden Korsel membantah pernyataan tersebut. Ia mengatakan Korsel telah "mengamati transaksi militer yang terjadi selama beberapa bulan sebelum pertemuan" antara Kim dan Putin.
Pada Rabu (19/9/2023) juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan Rusia ingin memperluas hubungan dengan Korut di semua bidang yang memungkinkan.
Satu hari sebelumnya wakil menteri luar negeri Korea Selatan, Chang Ho-jin, memanggil duta besar Rusia untuk mendesak Moskow agar meninggalkan potensi kesepakatan senjata dengan Korut, dan memperingatkan akan adanya "konsekuensi yang jelas."
Staf presiden Korsel mengatakan Seoul sedang melakukan pembicaraan dengan AS dan negara-negara lain untuk menjatuhkan lebih banyak sanksi terhadap Rusia dan Korea Utara.
"Dewan Keamanan terpecah dan tidak mungkin untuk mengambil posisi bersatu pada Rusia, jadi untuk saat ini mungkin ada tindakan kohesif dalam solidaritas kebebasan, berputar-putar di sekitar sekutu dan teman," kata pejabat itu.