REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK – Perdana Menteri Pakistan Anwaarul Haq Kakar mengatakan, negaranya menginginkan hubungan yang damai dan produktif dengan semua tetangganya, termasuk India. Khusus terkait India, Kakar menyebut isu Jammu-Kashmir menjadi kunci bagi tercapainya perdamaian.
Kakar mengungkapkan, persengketaan Jammu-Kashmir merupakan salah satu isu tertua dalam agenda Dewan Keamanan PBB. “India telah menghindari implementasi resolusi Dewan Keamanan, yang menyerukan disposisi akhir Jammu dan Kashmir untuk diputuskan oleh rakyatnya melalyi plebisit yang diawasi PBB,” katanya saat berpidato di Majelis Umum PBB, Jumat (22/9/2023), dikutip Anadolu Agency.
Dia pun menyinggung langkah India mencabut status khusus Kashmir pada Agustus 2019 yang memicu aksi kekerasan di wilayah tersebut. Kakar menyoroti bagaimana India mengerahkan sekitar 900 ribu tentaranya ke sana untuk meredam aksi protes warga atas keputusan pencabutan status khusus Kashmir. “India telah memberlakukan lockdown dan jam malam yang diperpanjang, memenjarakan semua pemimpin asli Kashmir, dengan kekerasan menekan protes damai, serta melakukan pembunuhan di luar proses hukum terhadap warga Kashmir yang tidak bersalah dalam bentrokan rekaan,” ucapnya.
Kakar menambahkan, otoritas India bahkan tidak mengizinkan tim dari Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB mengunjungi Kashmir. Dia kemudian mendesak Dewan Keamanan PBB untuk menerapkan resolusinya terkait Kashmir.
Kashmir yang dikelola India sempat dibekap ketegangan setelah pemerintahan Perdana Menteri India Narendra Modi memutuskan mencabut status khusus wilayah tersebut pada 5 Agustus 2019. Kashmir adalah satu-satunya wilayah di India berpenduduk mayoritas Muslim. Pencabutan status khusus itu segera ditolak warga Kashmir. Mereka khawatir langkah demikian akan mengubah komposisi demografis di sana.
Warga akhirnya turun ke jalan dan menggelar demonstrasi. Unjuk rasa berlangsung di beberapa daerah di wilayah Kashmir yang dikelola India. Pemerintah merespons aksi massa tersebut dengan mengerahkan pasukan ke sana. Tak hanya itu, jaringan televisi dan telekomunikasi, termasuk internet, dipadamkan. Kashmir diisolasi dari dunia luar.
Pakistan, sebagai negara tetangga dengan mayoritas penduduk Muslim, turut memprotes keputusan India mencabut status khusus Kashmir. Kala itu Islamabad memutuskan membekukan semua aktivitas perdagangan dan menurunkan level hubungan diplomatiknya dengan New Delhi.
Setelah status khususnya dicabut, pada 2020, India menerbitkan undang-undang (UU) domisili. Lewat UU tersebut, setiap warga negara India yang telah tinggal di Kashmir selama setidaknya 15 tahun atau menempuh pendidikan selama tujuh tahun, dapat menjadi penduduk tetap di sana.
Pada 2020, Pemerintah India juga melonggarkan aturan bagi tentaranya untuk memperoleh tanah di Kashmir dan membangun permukiman “strategis”. Otoritas India menyebut hak tinggal baru sebagai tindakan yang terlambat untuk mendorong pembangunan ekonomi yang lebih besar. Namun para kritikus berpendapat langkah itu dapat mengubah susunan populasi di Kashmir.
Banyak warga Kashmir khawatir masuknya “orang luar” dapat mengubah hasil plebisit jika peristiwa itu terjadi. Resolusi PBB tahun 1948 menjanjikan Kashmir dapat menentukan apakah mereka ingin bergabung dengan India atau Pakistan.
Sebagian besar Muslim Kashmir mendukung gagasan untuk menyatukan wilayah tersebut dengan Pakistan. Jika tidak, mereka lebih memilih menjadi negara merdeka dibandingkan harus bergabung dengan India. Pemerintah India telah menuduh Pakistan mensponsori “terorisme” di Kashmir. Islamabad membantah tudingan tersebut.
Sejak merdeka dari Inggris pada 1947, Kashmir terpecah dua. Dua per tiga wilayahnya dikuasai India, sementara sisanya dimiliki Pakistan. Wilayah itu kemudian dipisahkan oleh Line of Control (LoC). Perselisihan akibat sengketa Kashmir telah membuat India dan Pakistan tiga kali berperang, yakni pada 1948, 1965, dan 1971.