REPUBLIKA.CO.ID, ABUJA -- Para pemimpin Afrika menyampaikan pesan yang jelas saat berpidato di Sidang Majelis Umum PBB (UNGA) ke-78. Mereka sepakat negara-negara yang berada di Afrika sudah menjadi korban tatanan pasca-Perang Dunia II. Mereka mendesak agar negara-negara lain bermitra, bukan malah dikesampingkan.
Sebagian besar negara Afrika telah mencapai kemerdekaan cukup lama dan benua berpenduduk lebih dari 1,3 miliar orang ini lebih sadar akan tantangan yang menghambat pembangunannya. Ada juga keberanian baru yang muncul dari kursi G20 di Uni Afrika.
“Kami sebagai Afrika datang ke dunia ini, bukan untuk meminta sedekah, amal atau bantuan, tetapi untuk bekerja sama dengan komunitas global dan memberikan setiap umat manusia di dunia ini kesempatan yang layak untuk mendapatkan keamanan dan kesejahteraan,” Presiden Kenya William kata Ruto.
Dalam beberapa tahun terakhir, Afrika sudah jelas mengenai kapasitasnya untuk menjadi kekuatan global. Benua ini memulai upayanya untuk mengatasi perubahan iklim di negaranya sendiri meskipun Afrika berkontribusi paling kecil terhadap perubahan iklim. Wilayah ini juga membantu memupuk perdamaian di tempat lain, seperti di Rusia dan Ukraina.
Dalam pidato di UNGA, Presiden Ghana Nana Akufo-Addo menyalahkan tantangan yang dihadapi Afrika saat ini akibat ketidakadilan historis. Dia menyerukan reparasi atas perdagangan budak.
Bagi Akufo-Addo, memperbaiki tatanan dunia yang tidak adil harus dimulai dengan pembayaran reparasi dari era ketika sekitar 12,5 juta orang diperbudak. Dia merujuk pada Database Perdagangan Budak Trans-Atlantik.
“Inilah saatnya untuk mengakui secara terbuka bahwa sebagian besar Eropa dan Amerika Serikat dibangun dari kekayaan besar yang diperoleh dari keringat, air mata, darah, dan kengerian perdagangan budak trans-Atlantik serta eksploitasi kolonial selama berabad-abad,” kata Akufo-Addo.
Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa mengatakan, benua itu siap untuk mendapatkan kembali posisinya sebagai tempat kemajuan umat manusia. Mereka mampu meskipun menghadapi warisan eksploitasi dan penaklukan.
Pemimpin Nigeria Bola Tinubu mendesak rekan-rekannya untuk melihat wilayah tersebut bukan sebagai masalah yang harus dihindari tetapi sebagai teman dan mitra sejati. “Afrika adalah kunci masa depan dunia,” kata pemimpin negara yang diperkirakan menjadi negara dengan jumlah penduduk terbesar ketiga di dunia pada 2050.
Direktur program Afrika di Crisis Group Murithi Mutiga melihat, sebagai blok negara terbesar di PBB, dapat dimengerti bahwa para pemimpin Afrika semakin menuntut suara yang lebih besar di lembaga-lembaga multilateral. “Seruan tersebut akan semakin meningkat terutama pada saat benua ini sedang dirayu oleh negara-negara besar di tengah meningkatnya persaingan geopolitik," ujarnya.
Selain melalui pidato di UNGA, di sela-sela pertemuan PBB, Bank Pembangunan Afrika memobilisasi beberapa pemimpin politik dan bisnis di sebuah acara bertajuk “Afrika yang Tak Dapat Dihentikan”. Kegiatan itu dianggap mencerminkan aspirasi benua tersebut hanya beberapa hari setelah KTT Iklim Afrika yang pertama kali.
Tapi dengan populasi kaum muda yang diperkirakan akan meningkat dua kali lipat pada 2050, Afrika adalah satu-satunya wilayah yang berkembang pesat. Hanya saja, wilayah ini masih menghadapi kondisi penduduk yang semakin miskin dan sebagian orang merayakan pengambilalihan pemerintahan yang dipilih secara demokratis oleh militer.
“Afrika adalah sebuah paradoks,” kata kepala analis Tanduk Afrika/Teluk di lembaga think-tank Sahan Research yang berbasis di Nairobi Rashid Abdi.
“Ini bukan hanya benua yang harapannya semakin berkurang, ada beberapa wilayah di Afrika di mana kita melihat inovasi, pemikiran progresif, dan solusi yang sangat cerdas," ujarnya.
Abdi mengatakan, dunia kini semakin tertarik pada Afrika dan kontribusinya terhadap tantangan global saat ini. “Afrika mempunyai potensi untuk lebih tegas dan mendorong perubahan yang progresif dan adil dalam sistem global,” katanya.
Menurut Presiden Mozambik Filipe Nyusi, yang dibutuhkan Afrika adalah sistem keuangan global yang lebih inklusif. Dalam sistem seperti itu, masyarakat Afrika dapat berpartisipasi sebagai mitra yang memiliki banyak hal untuk ditawarkan kepada dunia.
"Bukan hanya gudang yang memasok komoditas murah ke negara-negara atau perusahaan multinasional internasional," ujar Nyusi.