REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Para menteri migrasi Uni Eropa bertemu di Brussels untuk mendiskusikan bagaimana menangani para migran yang tiba melalui laut. Pertemuan ini digelar karena Italia dan Jerman khawatir pada naiknya kedatangan imigran.
Sementara itu Berlin meluncurkan kontrol perbatasan di dalam zona perjalanan terbuka Eropa. Para menteri akan kembali mencoba menyepakati mekanisme untuk membagi para pencari suaka yang tiba di Eropa di luar pos-pos perbatasan biasa.
Mereka juga mendiskusikan apakah blok 27 negara harus membuat kesepakatan dengan Mesir untuk mencegah lebih banyak imigran yang datang dari pantai selatan Mediterania.
Para kritikus mengatakan kesepakatan dengan Tunisia baru-baru ini tidak memenuhi standar hak asasi manusia. Namun kemungkinan akan semakin banyak kesepakatan yang dibuat karena Roma membunyikan alarm usai jumlah imigran yang tiba di Lampedusa yang melampaui jumlah kedatangan pada tahun 2022 ketika Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni memenangkan pemilihan nasional dengan kampanye anti-imigran.
"Ada banyak keresahan di negara tetangga langsung Eropa," kata seorang diplomat senior Uni Eropa, Kamis (28/9/2023).
"Mengenai apakah kami harus atau tidak harus memiliki lebih banyak perjanjian seperti itu, kemungkinan mayoritas didiskusi akan menjawab 'ya'," tambahnya.
Fokus tertuju pada Jerman dan apakah Menteri Dalam Negeri Nancy Faeser membawa kesepakatan koalisi ke Brussels yang akan memungkinkan Berlin untuk mendukung apa yang disebut "mekanisme krisis" untuk mendistribusikan pengungsi dan migran di blok tersebut agar tidak membebani Italia dan negara-negara lain.
Pada Rabu (28/9/2023) Faeser mengumumkan Jerman memberlakukan pemeriksaan di perbatasan dengan negara tetangga Polandia dan Republik Ceko setelah angka permintaan suaka ke Jerman sepanjang tahun ini naik hampir 80 persen.
Hal ini membuat koalisi kiri-moderat yang berkuasa yang menghadapi tantangan dari kelompok kanan-jauh dalam pemilihan lokal di Bavaria bulan depan.
Kontrol seperti itu di dalam wilayah yang seharusnya menjadi zona perjalanan terbuka Uni Eropa menyoroti bagaimana kesulitan dalam menangani para pengungsi yang melarikan diri dari perang dan kemiskinan di Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan menantang kerja sama di dalam blok tersebut.
Uni Eropa mendorong kebijakan anti-imigrasi yang lebih keras sejak lebih dari satu juta orang mencapai pantai selatannya pada tahun 2015, yang mengejutkan blok tersebut dan membuat kapasitas keamanan dan penerimaan yang luar biasa di berbagai negara termasuk Italia.
Sejak saat itu, pemerintah-pemerintah di 27 negara anggota berjuang untuk memodernisasi peraturan suaka dan migrasi bersama mereka - termasuk "mekanisme krisis" - terutama karena mereka ingin terlihat memegang kendali bagi para pemilih mereka menjelang pemilihan parlemen pan-Uni Eropa pada tahun 2024.