REPUBLIKA.CO.ID, BAKU – Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev telah mengunjungi kota Jabrayil di Nagorno-Karabakh yang dipersengketakan. Pekan lalu Azerbaijan melancarkan operasi militer ke Nagorno-Karabakh dan berhasil memukul pasukan etnis Armenia yang mengontrol wilayah tersebut.
Kunjungan Aliyev ke Jabrayil diumumkan Kantor Kepresidenan Azerbaijan pada Kamis (28/9/2023). Namun tak diterangkan kapan kunjungan tersebut dilakukan. Awal pekan ini, Aliyev mengatakan, dia berjanji akan melindungi hak-hak warga etnis Armenia yang tinggal di Nagorno-Karabakh
“Terlepas dari apa yang terjadi lima hari lalu, kami mulai mengirimkan bantuan kemanusiaan ke wilayah Karabakh di Azerbaijan. Bahan bakar, bahan makanan, obat-obatan telah dikirim,” kata Aliyev dalam pertemuannya dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan di Nakhchivan, Senin (25/9/2023), dikutip laman Barron’s.
“Ini sekali lagi menunjukkan bahwa penduduk Karabakh, apa pun etnisnya, adalah warga negara Azerbaijan. Hak-hak mereka akan dijamin oleh negara Azerbaijan,” tambah Aliyev.
Aliyev mengatakan dia yakin bahwa proses reintegrasi warga Armenia di Karabakh ke dalam masyarakat Azerbaijan akan berhasil. Perlindungan hak-hak etnis Armneia di Nagorno-Karabakh kembali ditegaskan Aliyev saat menerima kunjungan delegasi Amerika Serikat (AS). Dia menekankan, hak-hak etnis Armenia akan dijamin dalam kerangka undang-undang Azerbaijan dan kewajiban internasional.
Sebelum Aliyev menyatakan akan menjamin hak-hak etnis Armenia, sebanyak 120 ribu warga etnis Armenia di Nagorno-Karabakh disebut akan meninggalkan wilayah tersebut dan pergi ke Armenia. Hal itu diungkap pejabat tinggi Republik Artsakh, yakni sebuah pemerintahan yang memisahkan diri dari Azerbaijan dan mengontrol wilayah Nagorno-Karabakh.
“Rakyat kami tidak ingin hidup sebagai bagian dari Azerbaijan. (Sebanyak) 99,9 persen memilih meninggalkan tanah bersejarah kami,” ungkap David Babayan, yakni penasihat Samvel Shahramanyan yang menjabat sebagai presiden Republik Artsakh, Ahad (24/9/2023) lalu.
“Nasib masyarakat miskin kami akan tercatat dalam sejarah sebagai aib dan hal memalukan bagi rakyat Armenia serta seluruh peradaban dunia. Mereka yang bertanggung jawab atas nasib kami suatu hari nanti harus mempertanggungjawabkan dosa-dosa mereka di hadapan Tuhan,” tambah Babayan.
Para pemimpin etnis Armenia di Karabakh mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa semua orang yang kehilangan tempat tinggal akibat operasi militer Azerbaijan di Nagorno-Karabakh dan ingin pergi akan diantar ke Armenia oleh pasukan penjaga perdamaian Rusia. Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan, yang telah menghadapi gelombang protes keras karena dianggap gagal mempertahankan wilayah Nagorno-Karabakh, mengatakan akan menerima warga etnis Armenia dari Nagorno-Karabakh.
Pada 19 September 2023 lalu, Azerbaijan melancarkan operasi militer terbaru ke wilayah Nagorno-Karabakh. Mereka menyebut operasi itu sebagai operasi “anti-teroris”. Tujuan operasi adalah memukul pasukan etnis Armenia yang mengontrol wilayah tersebut. Menurut Armenia, lebih dari 200 orang tewas dan 400 lainnya mengalami luka-luka dalam operasi militer Azerbaijan.
Pasukan etnis Armenia setuju untuk melucuti senjata mereka berdasarkan ketentuan gencatan senjata yang dicapai pada 20 September 2023. Rusia, yang memiliki 2.000 pasukan penjaga perdamaian di Nagorno-Karabakh mengatakan, berdasarkan ketentuan gencatan senjata, enam kendaraan lapis baja, lebih dari 800 senjata ringan, senjata anti-tank dan sistem pertahanan udara portabel, serta 22 ribu butir amunisi telah diserahkan pada 23 September 2023.
Nagorno-Karabakh, yang dikenal sebagai Artsakh oleh orang Armenia, terletak di wilayah yang selama berabad-abad berada di bawah kekuasaan Persia, Turki, Rusia, Ottoman, dan Uni Soviet. Persengketaan klaim antara Azerbaijan dan Armenia terkait Nagorno-Karabakh mulai terjadi sejak jatuhnya Kekaisaran Rusia pada 1917. Pada masa Soviet, Nagorno-Karabakh ditetapkan sebagai wilayah otonom di Azerbaijan.
Ketika Uni Soviet runtuh, orang-orang Armenia di Nagorno-Karabakh melepaskan kendali nominal Azeri (etnis Azerbaijan) dan merebut wilayah tersebut. Peristiwa tersebut dikenal sebagai Perang Karabakh I. Antara 1988-1994, sekitar 30 ribu orang terbunuh dan lebih dari 1 juta orang, sebagian besar warga Azeri, mengungsi.
Sejak saat itu, pertempuran di Nagorno-Karabakh terjadi secara berkala dan berlangsung selama puluhan tahun. Pada 2020 lalu, Azerbaijan dan Armenia kembali terlibat pertempuran sengit di Nagorno-Karabakh. Konfrontasi berlangsung selama 44 hari dan memakan korban lebih dari 6.500 jiwa. Peristiwa tersebut kemudian dikenal sebagai Perang Karabakh II.
Dalam konfrontasi pada 2020, Rusia menjadi pihak yang berhasil mendorong Armenia dan Azerbaijan menyepakati gencatan senjata. Berdasarkan perjanjian, 2.000 tentara penjaga perdamaian Rusia dikerahkan ke wilayah tersebut. Azerbaijan memperoleh keuntungan teritorial yang signifikan. Hal itu karena Armenia setuju menyerahkan beberapa bagian wilayah di Nagorno-Karabakh ke Azerbaijan sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata.