Rabu 04 Oct 2023 06:57 WIB

Taliban Marah ke Sejumlah Media Arab Saudi karena Dianggap Sebar Hoaks

Taliban dikabarkan protes kehadiran seorang perempuan dalam pertemuan Menlu Saudi

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Esthi Maharani
Taliban telah menyuarakan kemarahan atas laporan beberapa media massa Arab Saudi yang dianggap menyebarkan hoaks.
Foto: EPA-EFE/SAMIULLAH POPAL
Taliban telah menyuarakan kemarahan atas laporan beberapa media massa Arab Saudi yang dianggap menyebarkan hoaks.

REPUBLIKA.CO.ID, TALIBAN – Taliban telah menyuarakan kemarahan atas laporan beberapa media massa Arab Saudi yang dianggap menyebarkan hoaks. Media-media tersebut memberitakan bahwa Taliban memanggil Kuasa Usaha Arab Saudi untuk memprotes kehadiran seorang perempuan dalam sebuah pertemuan antara Menteri Luar Negeri Taliban Amir Khan Mutaqqi dan delegasi Saudi di Moskow beberapa hari lalu.

“Berita itu salah. Kami tidak menyangka kebohongan seperti itu akan dipublikasikan oleh media yang beroperasi di Kerajaan Arab Saudi,” kata Taliban terhadap salah satu akun berita Saudi yang melaporkan kabar tersebut, dikutip Middle East Monitor, Selasa (3/10/2023).

Baca Juga

Saluran Al-Arabiya Arab Saudi adalah salah satu media yang mempublikasikan laporan tersebut. Belakangan, Al-Arabiya menghapus berita itu dari situsnya. Al-Arabiya juga menghapus unggahan berita terkait dari akun X (Twitter) miliknya.

Akhir pekan lalu, perwakilan pemerintah Saudi mengadakan pertemuan dengan delegasi Taliban di Moskow, Rusia. Mereka membahas tentang hubungan bilateral dan bantuan kemanusiaan ke Kabul.

Taliban berhasil menguasai kembali Afghanistan pada Agustus 2021. Namun hingga kini, belum ada satu pun negara yang mengakui pemerintahan mereka. Salah satu faktor penyebabnya adalah kebijakan Taliban yang tak memenuhi hak-hak kaum perempuan di negara tersebut.

Pada Juni lalu, Pelapor Khusus PBB untuk Situasi HAM Afghanistan, Richard Bennett, mengatakan perlakuan Taliban terhadap perempuan dan anak perempuan di Afghanistan dapat dikategorikan sebagai apartheid gender. Hal itu karena Taliban mengekang hak-hak dasar mereka.

Bennett menjelaskan, PBB mendefinisikan apartheid gender sebagai diskriminasi seksual ekonomi dan sosial terhadap individu karena gender atau jenis kelamin mereka. “Kami telah menunjukkan perlunya lebih banyak eksplorasi apartheid gender, yang saat ini bukan merupakan kejahatan internasional, tetapi bisa menjadi demikian,” ungkapnya.

“Tampaknya jika seseorang menerapkan definisi apartheid, yang saat ini untuk ras, pada situasi di Afghanistan dan menggunakan seks daripada ras, tampaknya ada indikasi kuat yang mengarah ke sana,” kata Bennett.

Kehidupan perempuan Afghanistan saat ini memang dikekang oleh Taliban. Anak perempuan dilarang melanjutkan pendidikan setelah mereka lulus sekolah dasar. Sekolah menengah dan universitas tak diizinkan bagi mereka. Keputusan melarang perempuan Afghanistan berkuliah diambil Taliban pada Desember tahun lalu.

Tak berselang lama setelah itu, Taliban memutuskan melarang perempuan Afghanistan bekerja di lembaga swadaya masyarakat atau organisasi non-pemerintah. Sebelumnya Taliban juga telah menerapkan larangan bagi perempuan untuk berkunjung ke taman, pasar malam, pusat kebugaran, dan pemandian umum. Taliban pun melarang perempuan bepergian sendiri tanpa didampingi saudara laki-lakinya. Ketika berada di ruang publik, perempuan Afghanistan diwajibkan mengenakan hijab.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement