Senin 09 Oct 2023 08:35 WIB

Hamas Tangkap Warga Israel untuk Ditukar dengan Tahanan Palestina

Sejak 1967 Israel telah menangkap sekitar satu juta warga Palestina.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nidia Zuraya
 Pintu masuk ke penjara Gilboa di Israel utara, Senin, 6 September 2021.
Foto: AP/Sebastian Scheiner
Pintu masuk ke penjara Gilboa di Israel utara, Senin, 6 September 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Dengan menggunakan mobil golf, van, dan sepeda motor, pejuang Hamas telah menangkap puluhan warga sipil dan tentara Israel dan membawanya ke Jalur Gaza. Hamas akan menggunakan warga Israel yang ditangkap untuk mencapai kesepakatan pembebasan warga Palestina di penjara-penjara Israel.

Banyak yang berpendapat bahwa Gaza adalah penjara terbuka. Sekitar 2,2 juta orang diblokade oleh Israel di daerah kantong kecil di pesisir pantai. Sejak 1967, ketika Israel menduduki Yerusalem Timur, Jalur Gaza, dan Tepi Barat, Israel telah menangkap sekitar satu juta warga Palestina.

Baca Juga

Satu dari setiap lima warga Palestina telah ditangkap dan didakwa berdasarkan 1.600 perintah militer yang mengendalikan setiap aspek kehidupan warga Palestina yang hidup di bawah pendudukan militer Israel.  Tingkat penahanan pria Palestina meningkat dua kali lipat, atau dua dari setiap lima orang telah ditangkap.

Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat, negara yang terkenal dengan populasi penjara terbesar di dunia, satu dari 200 orang dipenjarakan. Tingkat pemenjaraan di kalangan warga kulit hitam Amerika lebih dari tiga kali lipat dibandingkan tingkat keseluruhan. Namun, angka tersebut hanyalah sebagian kecil dari kemungkinan rata-rata orang Palestina untuk menghabiskan waktu di penjara.

Kelompok hak asasi Tahanan Palestina Addameer menggambarkan sistem penjara Israel sebagai kompleks mesin mengerikan dalam bentuk, hukum, prosedur, dan kebijakan. Sistem ini dirancang untuk melikuidasi dan membunuh.

Saat ini, jumlah warga Palestina yang saat ini berada di balik jeruji besi Israel adalah 5.200 orang, termasuk 33 perempuan dan 170 anak-anak.  Jika diadili, tahanan Palestina akan diadili di pengadilan militer.

Dua bulan setelah Israel menduduki wilayah Palestina dan Arab dalam perang tahun 1967, pemerintah Israel mengeluarkan Perintah Militer 101. Perintah ini pada dasarnya mengkriminalisasi aktivitas sipil berdasarkan propaganda permusuhan dan larangan hasutan.

Perintah tersebut masih digunakan di wilayah pendudukan Tepi Barat. Israel melarang partisipasi dan pengorganisasian protes, mencetak dan mendistribusikan materi politik, dan mengibarkan bendera dan simbol politik lainnya. Termasuk segala aktivitas yang menunjukkan simpati terhadap organisasi yang dianggap ilegal berdasarkan perintah militer.

Tiga tahun kemudian, perintah militer lain dikeluarkan oleh pemerintah Israel.  Hal ini membentuk pengadilan militer, dan pada dasarnya melarang segala bentuk perlawanan Palestina terhadap pendudukan Israel.

Israel menyebut kelompok perlawanan Palestina sebagai 'terorisme'. Ratusan perintah militer lainnya telah dikeluarkan dan dilaksanakan sejak saat itu untuk membatasi ekspresi sipil dan politik Palestina.

Ada 19 penjara di Israel dan satu di Tepi Barat yang menampung tahanan Palestina. Berdasarkan Konvensi Jenewa Keempat, tindakan negara pendudukan yang memindahkan penduduknya dari wilayah pendudukan merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional.

“Hal ini melanggar hukum dan kejam, dan konsekuensinya bagi orang yang dipenjara dan orang-orang yang mereka cintai, yang sering kali tidak dapat bertemu dengan mereka selama berbulan-bulan, dan kadang-kadang bahkan bertahun-tahun, bisa sangat menyedihkan,” kata Amnesty International, dilaporkan Aljazirah, Ahad (8/10/2023).

Terdapat 1.264 tahanan administratif Palestina, yang berarti mereka ditahan tanpa batas waktu di balik jeruji besi tanpa diadili atau dituntut apa pun. Praktik ini merupakan sisa dari era Mandat Inggris.

Masa tahanan administratif Palestina dapat diperpanjang tanpa batas waktu berdasarkan “bukti rahasia”. Dengan demikian, seorang tahanan dapat menghabiskan waktu berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun di penjara tanpa dituntut.

Israel mengatakan prosedur tersebut memungkinkan pihak berwenang untuk menahan tersangka sambil terus mengumpulkan bukti. Namun para kritikus dan kelompok hak asasi manusia mengatakan, sistem tersebut disalahgunakan secara luas dan mengabaikan proses hukum yang berlaku.

Sejak pecahnya Intifada kedua pada tahun 2000, lebih dari 12.000 anak-anak Palestina telah ditahan oleh pasukan Israel. Setidaknya 700 anak-anak Palestina di bawah usia 18 tahun dari wilayah pendudukan Tepi Barat dituntut setiap tahun melalui pengadilan militer Israel setelah ditangkap, diinterogasi, dan ditahan oleh tentara Israel.

Addameer menggambarkan, penangkapan dan pemenjaraan anak-anak sebagai tindakan sistemik dan bagian dari kampanye hukuman kolektif. Tuduhan yang paling umum adalah pelemparan batu, dengan ancaman hukumannya maksimal 20 tahun penjara.

Anak-anak Palestina yang ditahan sering kali menjadi sasaran penyiksaan fisik dan psikologis. Mereka diinterogasi tanpa kehadiran orang tua atau pengacara. Para kritikus menuduh Israel mengeksploitasi penahanan anak-anak itu untuk menjadikan mereka informan, dan memeras keluarga mereka secara finansial dengan memaksa membayar denda yang besar.

Perintah Militer 1726 menyatakan, anak-anak dapat ditahan secara preventif selama 15 hari sebelum surat dakwaan diajukan. Pengadilan militer dapat memperpanjang penahanan tersebut selama 10 hari setiap kali dan maksimal 40 kali.

Perintah Militer 1745 menetapkan, sesi interogasi terhadap anak-anak harus direkam secara audiovisual dalam bahasa yang dipahami oleh anak-anak. Namun hal ini tidak termasuk anak-anak yang ditangkap dengan dalih keamanan yang mengacu pada semua tahanan anak-anak Palestina.

Berdasarkan Perintah Militer 132, anak-anak Palestina berusia 16 tahun ke atas diadili dan dijatuhi hukuman oleh pengadilan militer Israel setelah dewasa. Selain itu, anak-anak Palestina masih dikenakan tuntutan berdasarkan usia mereka pada saat dijatuhi hukuman, dan bukan berdasarkan usia mereka pada saat dugaan pelanggaran, sebagaimana ditentukan oleh hukum internasional.

Pada Agustus 2016, Israel mengubah undang-undangnya yang menyatakan bahwa anak-anak di bawah 14 tahun tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.  Hal ini dilakukan setelah pihak berwenang Israel menunggu Ahmed Manasra, yang berusia 13 tahun pada saat penangkapannya, hingga berusia 14 tahun sebelum mendakwanya dengan percobaan pembunuhan dan menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara. Hukuman Manasra kemudian diringankan menjadi sembilan tahun. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement