REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Pada Sabtu (7/10/2023) pukul 06.00 pagi, Omar mendengar suara serangan. Dia bergegas bangun dari tempat tidurnya dan bergerak menuju perbatasan Gaza dengan Israel.
Omar, yang namanya dirahasiakan karena alasan keamanan, telah menjadi jurnalis sejak 2005. Bagi Omar suara roket Hamas terdengar familiar.
Omar bahkan sempat terluka parah saat meliput perang Israel di Gaza pada 2006. Omar mengatakan, ada sesuatu yang berbeda dari serangan Hamas kali ini.
“Saya dan seorang teman jurnalis berkendara menuju perbatasan dan menuju penyeberangan Erez. Jalannya terbuka dan banyak orang yang menyeberang dengan berjalan kaki, dengan mobil, atau dengan sepeda motor,” ujar Omar, dilaporkan Middle East Eye, Ahad (8/10/2023).
Di kejauhan, para pejuang Palestina berlari menuju komunitas Israel. Erez adalah persimpangan utama antara Jalur Gaza yang terkepung dan Israel. Seperti pagar lainnya yang memisahkan keduanya, pagar ini sangat dimiliterisasi dan dilengkapi dengan peralatan pengawasan.
Bagi banyak warga Palestina yang beruntung diizinkan meninggalkan Gaza, Erez sudah tidak asing lagi. Erez juga merupakan tempat para pekerja harian menyeberang ke Israel untuk bekerja. Namun hampir tidak ada satu pun tentara Israel yang terlihat di Erez ketika Hamas melancarkan serangan dalam Operasi Badai Al-Aqsa.
Omar menerima informasi bahwa tidak ada pasukan Israel dalam jarak 3 kilometer dari pagar perbatasan. Warga Palestina dalam kondisi aman untuk meninggalkan Gaza dan berjalan ke tanah datar Israel di depan mereka.
“Jadi orang-orang terus berjalan dan kami berjalan bersama mereka. Anda tidak bisa membayangkan jumlah orang yang masuk,” kata Omar.
“Saat kami hendak menyeberang jalan menuju Erez, kami menjadi sasaran serangan udara ketika Israel berusaha memotong jalan menuju persimpangan tersebut. Sekelompok warga sipil dan jurnalis, termasuk Nidal al-Wahidi, pendiri News Press, berada di area yang diserang. Hingga saat ini kami belum mengetahui nasibnya atau nasib pemuda yang bersamanya,” ujar Omar.
Omar dan beberapa rekannya berjalan sedikit tertinggal. Hal ini yang menyelamatkan Omar dan sejumlah rekannya.
Omar mengatakan, jet tempur Israel berusaha membubarkan massa yang menuju Erez. Tetapi orang-orang Palestina itu tidak peduli dan terus berlarian menuju perbatasan.
Mereka tidak peduli tentang apa pun. Ketika Omar menyeberang ke Israel, yang merupakan tanah bersejarah Palestina, perasannya mulai berkecamuk.
“Saya merasakan kegembiraan dan mulai menangis. Orang-orang mulai menangis dan bersujud karena mereka telah memasuki tanah tempat mereka mengungsi pada tahun 1948. Kami takjub saat berjalan-jalan, bebas, di tanah kami, di luar penjara di Gaza. Kami merasa bahwa kamilah yang memegang kendali atas tanah kami," ujar Omar.
Omar melihat tentara Israel tunduk pada pejuang Palestina. "Mereka (tentara Israel) yang berada di perbatasan yang kami saksikan menembaki anak-anak dan remaja putra, membunuh kami di masa lalu, kami sekarang melihat mereka dalam kondisi terlemah," ujar Omar.
Saat Omar berjalan, dia melewati banyak pejuang yang tewas. Kemudian dia mulai melihat tawanan Israel dibawa ke Gaza dengan mengendarai sepeda motor dan mobil.
Meskipun ada kematian dan kehancuran di sekitar Omar dan warga Palestina lainnya, mereka tetap merasakan kegembiraan. Omar mengatakan, dia merasa momen ini seperti Hari Raya Idul Fitri.
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Omar merasakan kebahagiaan yang membuncah. Omar dan warga Palestina lainnya merasa terbebas dari daerah kantong yang terkepung dan menderita akibat perang dan pengabaian.
“Saya merasa kebahagiaan orang-orang datang dengan memasuki negeri ini meskipun mereka akan mati. Kebanyakan masyarakatnya adalah pengungsi dari Ashkelon, Beersheba, dan saya sendiri berasal dari Jaffa," kata Omar.
Omar mengatakan, rasanya seperti adegan di film. Tentara Israel telah menyerah dan ketakutan.
“Saya telah menjalani seluruh hidup saya di bawah pengepungan, dan saya telah meliput semua peristiwa, perang dan perjalanan pulang, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan Jalur Gaza. Tapi ini pertama kalinya saya merasakan kebebasan," ujar Omar.
Saat ini, pertempuran masih berkecamuk di beberapa komunitas Israel di dekat Gaza. Setidaknya 700 warga Israel dipastikan tewas dalam serangan itu. Hingga Senin (9/10/2023) militer Israel terus melakukan serangan secara intensif di Jalur Gaza sebagai pembalasan. Sejumlah gedung dan pemukiman penduduk Gaza rata dengan tanah akibat bombardir Israel.
Omar dan keluarganya telah dua kali mengungsi akibat pemboman selama 24 jam terakhir. Pada Ahad (8/10/2023) Omar pergi untuk memotret rumah sebuah keluarga yang hancur akibat serangan udara Israel.
“Ini adalah pertama kalinya kami melakukan perlawanan dan memasuki wilayah kami. Setiap saat, mereka mendatangi kami, membunuh kami, membunuh anak-anak kami, dan mengeksekusi seluruh keluarga warga sipil," kata Omar.
Omar sudah lama terbiasa meliput tragedi yang berulang di Gaza. Tapi kali ini, Omar bukan hanya sekadar jurnalis yang sedang meliput tragedi memilukan, namun dia merasa telah meraih kemenangan karena dapat kembali ke tanah airnya.
“Saya mengambil foto kemenangan dan kembalinya ke tanah kami. Untuk pertama kalinya dalam karir saya, saya meliput peristiwa tersebut bukan sebagai korban, tetapi sebagai pemenang yang kembali ke tanah air saya," ujar Omar.