REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Menteri Pertahanan Korea Selatan Shin Won-shik mengatakan pada hari Selasa (10/10/2023) bahwa ia akan mendorong penangguhan perjanjian militer antar-Korea yang pernah disepakai pada tahun 2018. Hal ini dipicu kekhawatiran bahwa serangan mendadak yang dilakukan Hamas terhadap Israel akan juga dilakukan oleh Korea Utara (Korut) kepada Korea Selatan (Korsel).
Perjanjian militer antar-Korea tersebut, yang dicapai antara mantan Presiden Korsel Moon Jae-in dan pemimpin Korut Kim Jong Un, menciptakan zona penyangga di sepanjang perbatasan darat dan laut serta zona larangan terbang di atas perbatasan untuk mencegah bentrokan.
Berbicara dengan wartawan di Seoul, Menhan Shin Won-shik mengutip kekerasan di Israel dan Gaza yang menekankan perlunya memperkuat pengawasan terhadap Korut. Shin sangat kritis terhadap zona larangan terbang dalam perjanjian antar-Korea, yang menurutnya menghalangi Korsel untuk sepenuhnya memanfaatkan aset pengawasan udaranya pada saat ancaman nuklir Korut meningkat.
Hubungan antara kedua Korea telah memburuk setelah gagalnya pembicaraan besar antara Washington dan Pyongyang pada tahun 2019 mengenai program senjata nuklir Korut. Korut telah mengancam untuk meninggalkan perjanjian tahun 2018 sambil melakukan uji coba rudal dengan kecepatan tinggi, sehingga mendorong pemerintah Perdana Menteri Yoon Suk Yeol untuk mengambil tindakan yang lebih keras terhadap Pyongyang dibandingkan pendahulunya.
Meskipun Korsel memerlukan proses hukum yang rumit untuk sepenuhnya membatalkan perjanjian tersebut, namun menghentikan perjanjian hanya memerlukan keputusan dari rapat Kabinet. “Hamas telah menyerang Israel, dan Republik Korea berada di bawah ancaman yang jauh lebih kuat,” kata Shin, menyebut nama resmi Korea Selatan.
“Untuk melawan (ancaman itu), kita perlu melakukan observasi (gerakan militer Korea Utara) dengan aset pengawasan kita, untuk mengetahui terlebih dahulu apakah mereka sedang mempersiapkan provokasi atau tidak. Jika Israel menerbangkan pesawat dan drone untuk terus melakukan pemantauan, saya pikir mereka mungkin tidak akan terkena serangan seperti itu,” katanya.
Komentar Shin kemungkinan besar akan menuai kritik keras dari oposisi Korea Selatan, yang menggambarkan perjanjian tersebut sebagai katup pengaman antara kedua Korea ketika hubungan kedua negara terus memburuk.
Belum ada bentrokan besar antara kedua Korea sejak perjanjian tersebut dicapai pada September 2018. Namun Korsel pada November 2022 lalu menuduh Korut melanggar tuntutan pengurangan ketegangan dalam perjanjian tersebut ketika negara tersebut menembakkan rudal di dekat pulau berpenduduk di dekat perbatasan laut mereka.
Sebelumnya pada bulan Juni 2020, Korut meledakkan kantor penghubung antar-Korea yang kosong di kota perbatasan Korut, Kaesong, untuk menunjukkan kemarahan atas keengganan Korsel untuk mencegah aktivis sipilnya menyebarkan selebaran propaganda anti-Pyongyang melintasi perbatasan. Pasukan Korut juga menembak dan membunuh seorang pejabat pemerintah Korsel yang ditemukan hanyut di dekat perbatasan laut mereka pada bulan September 2020.
Ketegangan di Semenanjung Korea berada pada titik tertinggi dalam beberapa tahun terakhir karena laju demonstrasi senjata Korut dan latihan militer gabungan Amerika Serikat dengan Korsel dan Jepang semakin meningkat.