REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Serangan pejuang Hamas ke Israel pada Sabtu (7/10/2023) berhasil mengejutkan zionis, bahkan dunia. Taktik baru yang diterapkan Hamas dianggap mampu membuat Israel kewalahan.
Infiltrasi ini mencoreng wajah tentara Israel yang selama ini membanggakan diri karena kehebatannya. Tentara Israel nyatanya tak menyadari serangan Hamas yang mendadak. Namun, bukan hanya serangan Hamas yang membuat warga Israel terkejut, tetapi respons militer atas serangan tersebut yang dinilai sangat lambat.
Warga Israel kecewa dengan lambatnya respons militer ketika Hamas melancarkan serangan mengejutkan melalui darat, laut, dan udara pada Sabtu (7/10/2023). Ribuan orang di Israel selatan tiba-tiba mendapati diri mereka terkepung, teriakan minta tolong mereka tidak terjawab selama berjam-jam. Mereka bersembunyi di dalam rumah dan ruang aman ketika para militan menembakkan peluru, membakar rumah-rumah dan melemparkan granat. Warga Israel dengan putus asa beralih ke media sosial, jurnalis dan teman-teman memohon kepada tentara untuk menyelamatkan mereka.
Serangan yang terjadi pada akhir pekan dan respons militer menimbulkan perasaan baru yang meresahkan, yaitu kerentanan dan pengabaian. Ribuan keluarga tidak mengetahui apakah orang yang mereka cintai masih hidup atau telah ditawan ke Gaza. Pada puncak kekerasan, tidak ada seorang pun yang dapat dimintai petunjuk atau informasi. Pusat kontak akhirnya didirikan, namun fokusnya adalah mengumpulkan informasi dari keluarga ketimbang menawarkan bantuan.
Di Israel, dinas militer adalah wajib bagi sebagian besar pria dan wanita Yahudi. Di mata banyak warga negara, hal ini merupakan perekat yang menyatukan negara ini di kawasan. Israel diakui di seluruh dunia atas kemajuan teknologi dan kemampuan pengumpulan intelijennya. Warga Israel sulit memahami kenapa intelijen Israel bobol atas serangan mengejutkan Hamas.
Bagi Merav Leshem Gonen, perasaan tidak berdaya mencengkeramnya ketika putrinya menelepon karena panik. "Mobil ditembak, kami tidak bisa mengemudi, semua orang di sini terluka,” ujar Gonen menceritakan apa yang dikatakan putrinya.
“Dia berbicara kepada saya dan berkata, 'Bu, bantu kami, kami tidak tahu harus berbuat apa.' Dan saya berkata, 'Kami mencintaimu, dan itu tidak masalah. Kami mencoba mencari cara untuk membawa kamu keluar dari sana. Kami mengirim orang,'" kata Gonen dalam konferensi pers di luar Tel Aviv.
"Dan saya tahu saya berbohong karena kami tidak punya jawaban, dan kami tidak punya jawaban apa pun. Tidak ada yang punya," ujar Gonen.