REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Lebih dari 180 ribu warga Palestina di Jalur Gaza berkumpul di tempat penampungan milik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ketika pesawat tempur Israel menggempur wilayah kecil berpenduduk 2,3 juta orang. Di antara mereka adalah Sabreen al-Attar yang berusia 27 tahun.
Al-Attar langsung beraksi ketika dia mendengar roket demi roket meluncur di atas lahan pertaniannya di Beit Lahiya tepat di selatan perbatasan Israel pada Sabtu (7/10/2023). Dia belajar dari pengalaman bahwa pembalasan Israel akan cepat dan parah.
Sambil menggendong anak-anaknya, al-Attar bergegas ke salah satu dari puluhan tempat penampungan yang didirikan di sekolah-sekolah yang dikelola oleh badan PBB untuk pengungsi Palestina di Kota Gaza. Ledakan dengan intensitas yang belum pernah terjadi sebelumnya menandai kondisi yang terus menurun karena makanan dan air habis.
“Saat saya melarikan diri, saya melakukannya demi anak-anak saya. Hidup mereka ada di pundak saya," ujar al-Attar dengan tangan gemetar.
Tapi, warga Gaza mengatakan tidak ada jalan keluar yang nyata di wilayah yang telah berada di bawah blokade selama 16 tahun oleh Israel dan Mesir. Ketika perang pecah, seperti yang terjadi empat kali sejak Hamas merebut kekuasaan pada 2007, bahkan fasilitas PBB yang seharusnya menjadi zona aman pun berisiko dilanda pertempuran.
PBB mengatakan, serangan udara langsung menghantam salah satu tempat penampungan pada Ahad (8/10/2023). Serangan Israel merusak lima sekolah lainnya yang berubah menjadi tempat penampungan pada Senin (9/10/2023). Belum ada laporan mengenai korban jiwa atas serangan-serangan terhadap fasilitas itu.
Sedangkan d kawasan pusat kota Rimal, distrik komersial Kota Gaza yang ramai dengan gedung-gedung tinggi yang menjadi lokasi media internasional dan organisasi bantuan, al-Attar berharap dia akan aman. Rimal hingga saat ini belum menjadi sasaran langsung Israel, tidak seperti kota-kota perbatasan atau kamp pengungsi yang padat penduduknya.
Tapi militer Israel melakukan serangan udara yang cepat dan intensif, pemboman besar-besaran mencapai jantung Kota Gaza. Serangan itu mengubah lingkungan makmur tersebut menjadi gurun kawah yang tidak dapat dihuni.
Rimal juga akhirnya terkena serangan udara Israel dalam perang berdarah di Gaza pada 2021, tetapi tidak sampai sejauh ini. Bom-bom Israel menghantam kampus andalan Gaza Islamic University, kementerian pemerintah, dan gedung-gedung tinggi di Rimal, mulai Senin sore.
Serangan itu tentu saja meledakkan jendela-jendela tempat perlindungan al-Attar, memecahkan kaca di mana-mana. Kehidupan di fasilitas yang dipadati oleh 1.600 orang lainnya itu penuh dengan bahaya dan kekurangan, tetapi al-Attar mengakui tidak punya pilihan selain tetap tinggal.
Al-Attar hanya bisa meminta anak-anaknya bernama Mohammed yang berusia dua tahun dan Nabil yang berusia tujuh tahun untuk menjauh dari jendela. “Malam itu sangat, sangat sulit. Kami tidak punya tempat lain untuk pergi," ujarnya.
Pengeboman di Rimal dan potensi risiko berlindung di sekolah-sekolah PBB menyoroti upaya putus asa yang dilakukan warga sipil Gaza untuk mencari perlindungan. Ruang aman di wilayah tersebut dengan cepat menyusut, sebab tidak ada tempat perlindungan bom sipil di Gaza.
Dalam sebuah pengarahan pada Selasa, juru bicara militer Israel Letkol Richard Hecht menyarankan agar warga Palestina mencoba meninggalkan Gaza melalui perbatasan Gaza dengan Mesir. Saran ini sangat tidak praktis.
Para pejabat Hamas yang mengoperasikan penyeberangan Rafah di sisi Gaza mengatakan, warga Gaza yang telah mendaftar terlebih dahulu dapat menyeberang ke Mesir. Terlebih lagi jumlah warga yang diizinkan untuk melakukan perjalanan biasanya berjumlah kecil. Hal ini menyebabkan penumpukan dan waktu tunggu berhari-hari atau berminggu-minggu, bahkan di saat tenang.
“Tidak pernah ada Rencana B di sini,” kata Maha Hussaini ketika menyaksikan warga Rimal yang ketakutan membanjiri lingkungannya di Kota Gaza lebih jauh ke selatan ketika bom juga mulai berjatuhan di sana.
Warga Gaza menggambarkan sebuah tarian berbahaya di sekitar pemboman besar-besaran Israel. Mereka harus melarikan diri dari rumah, menumpang apartemen kerabat, melarikan diri lagi ke sekolah-sekolah PBB, dan kemudian memulai dari awal lagi dalam upaya untuk menemukan rasa aman.
“Ini lebih baik daripada mati,” kata Muhammad al-Bishawi kelelahan saat bergegas antara tempat penampungan PBB di Kota Gaza dan rumahnya di Beit Lahiya untuk mendapatkan makanan dan perbekalan lainnya sebelum kembali.