REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Sebagian besar 2,3 juta populasi di Jalur Gaza tidak memiliki pasokan listrik dan air. Saat Israel menghujani daerah kantong permukiman kecil mereka, warga tidak punya tempat untuk lari.
Wilayah Palestina, salah satu tempat paling padat di dunia, dikepung sejak Sabtu (7/10/2023) dalam pengeboman terus-menerus yang menurut para pejabat kesehatan Gaza telah menewaskan lebih dari 1.000 orang. Serangan tersebut merupakan pembalasan atas serangan mendadak gerakan perjuangan pembebasan Palestina ke Israel. Militer Israel mengklaim serangan Hamas menewaskan lebih dari 1.200 orang.
Satu-satunya pembangkit listrik di Gaza, yang telah bekerja sebentar-sebentar selama berhari-hari, padam pada Rabu (9/10/2023) setelah kehabisan bahan bakar. Tanpa listrik, air tidak dapat dipompa ke rumah-rumah. Pada malam hari, hampir semuanya gelap gulita, diselingi oleh bola api dan cahaya dari ponsel yang digunakan sebagai senter.
"Saya hidup melalui semua perang dan serangan pada masa lalu, tetapi saya tidak pernah menyaksikan yang lebih buruk dari perang ini," kata Yamen Hamad, 35 tahun, seorang ayah dari empat orang anak, yang rumahnya hancur akibat serangan Israel di Kota Beit Hanoun, Gaza Utara, Rabu kemarin.
Di sebuah rumah sakit di Khan Younis, Gaza selatan, keluarga dan kerabat yang kehilangan anggota keluarganya berbaris di luar kamar mayat yang penuh sesak. Mayat-mayat dibaringkan di lantai karena pendinginnya sudah penuh atau tidak ada listrik.
Para pelayat sangat ingin segera menguburkan anggota keluarga mereka sebelum cuaca panas yang tidak menentu. Mereka berbicara sebentar di atas jenazah, berdoa agar arwah beristirahat dengan tenang, sebelum membawanya ke pemakaman terdekat, dengan tandu jika ada, atau jika tidak ada mereka membawanya tanpa tandu.
Sebagian besar warga Gaza menggemakan sentimen Hamad. Mereka menggambarkan ketakutan dan keputusasaan dalam menghadapi apa yang mereka gambarkan sebagai kekerasan terburuk yang pernah mereka lihat.
Satu-satunya perbatasan yakni Mesir kini telah diblokir sehingga warga Gaza pun terjebak. Mereka khawatir hal terburuk akan terjadi, termasuk kemungkinan invasi darat, ketika Israel membalas serangan Hamas paling mematikan dalam 75 tahun sejarah negara itu.
Dalam serangan mendadak yang diluncurkan pada hari Sabtu lalu pejuang Hamas menyerbu keluar dari Gaza dan menewaskan ratusan orang, meninggalkan mayat-mayat yang berserakan di sekitar sebuah festival musik dan komunitas kibbutz. Sejumlah warga Israel dan orang lain dibawa ke Gaza sebagai sandera, beberapa diarak di jalan-jalan.
Serangan Hamas tersebut mengundang kecaman keras dari Amerika Serikat dan pemerintah negara-negara Barat lainnya. Piagam pendirian kelompok militan pada tahun 1988 menyerukan penghancuran Israel, dan kelompok ini dicap sebagai organisasi teroris oleh Israel, Amerika Serikat, Uni Eropa, Kanada, Mesir dan Jepang.